Dok. Ist |
Serat Centhini merupakan karya sastra terbesar dalam kasusastraan Jawa baru, sering disebut juga sebagai Suluk Tembangraras-Amongraga. Ditulis pada tahun 1814 - 1823 oleh sebuah tim yang dipimpin Adipati Anom Amangkunagara III, putera mahkota Kerajaan Surakarta yang kemudian menjadi raja dengan gelar Sunan Paku Buwana V (1820-1823). Anggota tim penulisnya terdiri atas Kiai Ngabei Ranggasutrasna, Kiai Ngabei Yasadipura II, dan Kiai Ngabehi Sastradipura. Berisi tembang yang penulisanya dikelompokan menurut jenis lagunya dan terdiri dari 725 lagu menjadi 12 jilid.
Serat Centhini bercerita mengenai perjalanan Seh Amongraga sebagai putra tertua sunan Giri, Mas Cebolang putra ki Ageng Akah Hidayat dari Sokayasa dan Ni Ken Tembangraras putri Ki Bayi Panurta dari Wonomarta yang melakukan perjalanan untuk mencari pendewasaan spiritual dan khazanah kebudayaan Jawa, Candi, ilmu perbintangan, makna suara burung Gagak, ilmu primbon hingga seksualitas.
Lebih dari itu, dalam setiap cerita Serat Centhini terdapat pengajaran universal yang sesuai dengan jaman saat ini, salah satunya spiritualitas, sebagaimana penuturan Elizabeth Inandiakh, seorang sastrawan yang menerjemahkan 4000 halaman Serat Centhini kedalam Bahasa Prancis menjelaskan bahwa serat Centhini ibarat guru bagi dirinya. Dalam setiap ceritanya memiliki pengajaran universal yang masih konkret sampai saat ini, termasuk pengajaran spiritualitas, salah satunya pada jilid empat dan lima yang menceritakan tokoh Cebolang sebagai seorang santri di padepokan ayahnya, Cebolang yang berusia remaja melakukan kesalahan sebagaimana kaum remaja sekarang Ia akhirnya melakukan pelarian dan berguru dengan seorang pertapa yang menghadiahkan Cebolang pakaian catur warna sebagai tanda ilmunya yang tinggi.
Namun, Ketika Cebolang Kembali ke padepokan ayahnya, ia sempat sombong dan sang ayah menghampiri Cebolang lalu meminta anaknya mengembalikan pakaian yang membuatnya tinggi hati dan Kembali mencari ilmu yang paling tinggi, yakni cinta.
Aspek spiritualitas dalam serat Centhini yang dapat dilihat sampai saat ini adalah sifat seorang guru kepada santrinya, sebagaimana kisah Cebolang yang mengembara untuk mencari jati diri, Indonesia dengan banyaknya pesantren dan juga para santri yang selalu mengembara untuk menimbs ilmu, juga merupakan suatu pengembaraan dalam mencari jati diri dan pendewasaan.
Dalam pengembaraan seorang santri dan yang lainya akan selalu mencari pembiasaaan, selalu membiasakan diri untuk bisa keluar dari zona nyaman, sehingga bisa selalu siap dalam setiap keadaan yang akan berubah.
Sebagaimana seorang guru yang seringkali mengaku tidak memiliki ilmu yang dibutuhkan santrinya, dengan tujuan agar santrinya tidak mudah merasa puas hanya dengan berguru pada satu orang, satu keadaan, zona nyaman dan terus melakukan pencarian, pembelajaran hingga bisa sampai pada pencarian batiniyah.
Serat centhini, terlebih kisah Mas Cebolang menjadi pelajaran berharga bagi kaum remaja saat ini. Untuk tetap gigih dalam mennempuh ilmu dan berguru ke penjuru negeri, Tidak mudah merasa puas akan satu pengetahuan dan terus melakukan pengembaraan dalam proses pembelajaran
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.