Ilustrasi Tari Bedhoyo Tunggal Jiwo, Dok. Pinterest |
Tari Bedhoyo Tunggal Jiwo merupakan kebudayaan asli Demak, diciptakan khusus untuk mengiringi kehadiran Kanjeng Bupati Bintoro Demak. Pertama kali dipentaskan pada tahun 1989 pada masa pemerintahan Kol. H. Soekarlan, Bupati ke- 45 Demak. Tarian yang harus dibawakan oleh 9 penari setiap kali pementasan ini bermakna "manunggaling kawulo gusti", berarti pemimpin yang bekerja dengan ikhlas dan sungguh-sungguh untuk memajukan Bintoro Demak agar dapat berkembang untuk lebih dikenal masyarakat luas di Nusantara.
Jurnal Harmonia karya Sestri Indah Pebrianti menjelaskan, Tarian ini merupakan hasil akulturasi dari perayaan Grebeg Besar di Demak yang diwariskan oleh Walisongo seperti barong hakikat, topeng shari’at dan tari ronggeng ma’rifat yang digunakan sebagai penyebaran agama Islam. Pada tahun 1976, Winarno Adisubrata Kasi Kebudayaan Demak dan Dinas Pariwisata memodifikasi perayaan Grebeg Besar dengan menambahkan Slametan Tumpeng Sembilan, prosesi Prajurit Patangpuluh dan sajian tari Bedhoyo Tunggal Jiwo.
Bedhoyo Tunggal Jiwo yang tidak lagi dibatasi aturan keraton, mulai dipergunakan masyarakat dalam berbagai macam konteks. Baik sebagai tarian hiburan pejabat, masyarakat awam, maupun sebagai pembukaan upacara ritual. Makna Bedhoyo sendiri dikhususkan untuk tarian yang dimainkan oleh 9 penari. Dimana di dalamnya berisi tentang ajaran-ajaran agama yang disebarkan oleh Walisongo yang mana manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan suatu saat pasti akan kembali pada yang mencipta, untuk itu manusia harus selalu menyatukan jiwa dengan Tuhan agar selalu dekat dengan-Nya.
Selain itu ada pengertian Tunggal Jiwa yang berarti ‘bersatunya antara pejabat dengan rakyatnya’. Karena tarian yang dilakukan oleh sembilan penari ini dapat dinikmati seluruh masyarakat Demak, tamu undangan maupun pejabat dihadapan Bupati pada upacara Grebeg Besar.
Pementasan Tari Bedhoyo Tunggal Jiwo dalam upacara Grebeg Besar merupakan suatu bentuk penyampaian pesan seorang pemimpin kepada rakyatnya melalui media kesenian. Perilaku ini dilakukan pemimpin untuk bersama-sama membangun dan mewujudkan cita-cita daerahnya, mencapai masyarakat yang adil dan makmur, serta menjadi salah satu alternatif yang dapat dijadikan sebagai tuntunan serta pandangan hidup dalam masyarakat. Sesti dalam jurnalnya juga menyebutkan, Sajian tari Bedhaya Tunggal Jiwo sebagai bagian dari upacara ritual tidak hanya bertujuan sebagai estetika. Tetapi juga hubungan antara masyarakat dengan pemimpinnya guna mencapai suatu keadaan yang tata tentrem karta raharja (Kondisi masyarakat yang tentram, aman dan sejahtera).
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.