Semarang. EDUKASIA.ID - Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Tugurejo Tugu telah lama menjadi pilihan utama mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, sebagai tempat tinggal selama menempuh pendidikan tinggi di perguruan tinggi keagamaan tersebut.
Meski saat ini ada banyak pesantren mahasiswa baru bermunculan, PPRT (singkatan dari nama pesantren tersebut) tetap memiliki reputasi yang kuat di kalangan mahasiswa UIN Walisongo Semarang.
Namun, meski jadi pilihan sebagai pesantren mahasiswa, Pesantren Raudlatut Thalibin yang terletak di jalur Pantura Semarang-Jakarta tersebut ternyata awalnya tidak didesain sebagai pesantren mahasiswa seperti sekarang ini.
Pada awalnya, pesantren ini dibangun sebagai asrama untuk siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Hasanuddin 6 Tugurejo. Namun, karena lokasinya yang dekat dengan UIN Walisongo, pesantren ini menjadi menarik bagi para mahasiswa.
Menurut Anasom, ketua Tanfidziyah PCNU Kota Semarang dan alumni Pesantren Raudlatut Thalibin Tugu, proyeksi awal pesantren ini berubah menjadi pesantren mahasiswa karena banyak mahasiswa yang tertarik untuk tinggal di sana setelah melihat lokasinya yang strategis.
Sejak gedungnya selesai dibangun, banyak mahasiswa yang memilih untuk tinggal di Pesantren Raudlatut Thalibin Tugu. Beberapa di antara mereka yang awalnya tinggal di sekitar pesantren bahkan memutuskan untuk menjadi santri di sana. Ada juga yang tetap tinggal di luar pesantren tetapi aktif mengikuti kegiatan di pesantren.
Pada awal berdirinya, jumlah santri pesantren ini sekitar 25 orang. Santri-santri awal ini mendiami bangunan dengan satu lantai yang memiliki dua ruangan besar, yang dibagi menjadi 8 kamar santri.
Para santri awal ini belajar di bawah bimbingan KH. Asyikin, KH. Mustaghfirin, dan KH. Abdul Kholik, para pengasuh pesantren. Beberapa santri yang memiliki pengetahuan agama sebelumnya juga menjadi guru bagi sesama santri, mengajar topik-topik seperti tajwid, jurumiyah, sorof, dan lainnya.
Pengajian bersama dengan pengasuh menggunakan kitab-kitab seperti Tafsir Jalalain, Riyadussalihin, Asybah Wan Nadloir, Bulughul Marom, Taqrib, Kifayatul Ahyar, Nadhom maqsud, Nihayatuz Zain.
Menurut sejarah lisan, bukit ini dihubungkan dengan perbatasan Kerajaan Majapahit-Pajajaran. Di sekitar Candi Tugu juga terdapat monumen berbahasa Belanda.
Para santri pesantren ini dapat dengan mudah melihat Candi Tugu karena lokasinya yang sangat dekat. Beberapa santri bahkan menggunakan area sekitar ini untuk berolahraga karena daerahnya terbuka dan memiliki kontur tanah yang berbukit.
Awalnya, keinginan untuk memiliki pondok pesantren di Tugurejo berasal dari KH. Sambudhi, namun impian ini baru terwujud melalui putranya, KH Zaenal Asyikin, yang kemudian menjadi pengasuh pesantren ini dan dihormati dalam peringatan haulnya setiap bulan Rabiul Awal.
Selain KH Zaenal Asyikin, ulama sepuh seperti alm. KH. Achmad Abdul Hamid Kendal yang merupakan Ulama PWNU Jateng itu juga turut mendukung inisiatif tersebut.
Tanah tempat pesantren ini berdiri merupakan tanah wakaf dari KH. Abdul Qodir, ibu 'Alimah Hj Sholeh, dan ibu Hj Qomariyah H Muh Anwar (ibu dari KH. Mustaghfirin, salah satu pengasuh pesantren Raudlatut Thalibin Tugu). Pembangunan gedung pesantren ini didanai oleh ibu Hj. Khotijah binti Abdul Basyir.
Pada umumnya, para lurah pesantren ini kemudian menjadi tokoh masyarakat dan ulama, seperti Drs. KH. Ghufron, yang menjadi lurah pada periode kedua dan terkenal sebagai ulama dan mubaligh di Jawa Tengah.
Secara berurutan, para lurah pondok yang memimpin santri Pesantren Raudlatut Thalibin Tugu pada tahun-tahun awal berdirinya pesantren adalah sebagai berikut: KH.Drs. Nur Mustofa, KH. Drs. Ghufron, KH. Drs Ahmad Fadhil, K. Ahmad Fatoni, K. Mujiono, dan K. Mahfudz.
Salah satu alumni bahkan menjadi ulama di Malaysia, yaitu H. Ahmad Fathony, yang mengabdikan ilmu yang diperolehnya dari pesantren ini menjadi panutan masyarakat di negara tetangga tersebut. Alumni pesantren ini juga memiliki peran penting di berbagai sektor, termasuk di pemerintahan, bisnis, dan akademisi.
Di bidang akademik, baru-baru ini ada alumni yang meraih gelar profesor, seperti Prof. Dr. Ikhrom, M,Ag, yang menjadi guru besar ilmu pendidikan agama di UIN Walisongo Semarang. Pesantren Raudlatut Thalibin Tugu telah melahirkan banyak tokoh dan intelektual yang berkontribusi positif bagi masyarakat dan bangsa.
Para alumni berkumpul setahun sekali di Pesantren Raudlatut Thalibin Tugu saat peringatan haul wafatnya KH Zaenal Asyikin, pada bulan rabiul awal setiap tahunnya.
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.