100 Remah Hikmah (5): Jumatan Tanpa Makna

0

Ilustrasi: Foto pixabay

Penulis: Salahuddin Ibnu Sjahad*

EDUKASIA.ID - Saya mestinya sudah membuang jauh-jauh pikiran lugu saya saat masih kecil dulu, kalau saja kiai Syarof tidak menyinggungnya saat menjadi badal Gus Mus menyampaikan mauidhoh hasanah tempo hari. 

Saya dulu mengidolakan khatib & imam shalat jumat yang ekspres. Teorinya sederhana. Masjid bukanlah panggung kampanye atau arena debat yang menandakan semakin panjang orasi berarti makin pintar oratornya. 

Bukan pula hotel atau homestay karena orang-orang pasti akan rajin curi start untuk "tidur" begitu i'tikaf sudah diniatkan, atau paling lambat saat khatib naik ke mimbar. 

Seakan-akan perintah "anshitu.." diulang-ulang oleh bilal itu semakna dengan kata "tidurlah..". 

Apalagi..jadi angkringan dadakan akibat para pemuda dan para pernah muda yang saling bicara ngalor ngidul membuat halaqah-halaqah di serambi masjid karena memang perlunya datang untuk salat jumat. 

Bukan demi khutbah jumatnya.. Jadi, tak salah jika saya makin menggebu-gebu, jika jadi presiden kelak akan membuat aturan yang bakal membuat para penulis buku kumpulan khutbah jumat pensiun dini: 

“Khutbah jumat harus dilakukan sesingkat mungkin. To the point layaknya proklamasi kemerdekaan.” 

Mungkin nanti bisa saja ada prosesi jumatan yang hanya memakan waktu total 10 menit. 

Waktu yang cukup untuk adzan 2x versi biasa, khutbah minimalis dengan tetap memenuhi 5 syarat pentingnya, plus salat jumat 2 rakaat dengan bacaan surat pendek. 

Ini bermanfaat sekali, minimal bagi 4 pihak: 

1) khatib. Karena tidak akan kehausan sebab khutbah yang singkat tadi.

2) usia lanjut. Karena salat yang pendek tidak akan membengkakkan kaki mereka. 

3) usia produktif. Karena mereka bisa meluangkan waktu rehat secukupnya setelah salat, agar tenaga pulih saat jam kerja mulai lagi. Bukan saat khutbah berlangsung alias tidur sebab kecapekan. 

4) kaum pengangguran. Karena singkatnya jumatan bisa membuat jera dari kebiasaan kongkow-kongkow di jalan atau malah di serambi. 

Meminimalisir kebangkrutan ganjaran akibat acuh pada khutbah. Mestinya yang hadir di masjid juga banyak orang yang cukup berilmu, yang mungkin tak pantas & tak perlu digurui dengan khutbah yang over kuota. 

Mereka, juga saya, dikumpulkan sepekan sekali itu agar diingatkan. 

Mentera (baca: mengukur) ulang kadar ketakwaan. 

Mengingat fitrah manusia yang tak luput dari dosa & alpa. Kita perlu sering-sering diingatkan akan tujuan kita hidup bersama di dunia fana ini. 



**** * ****

*Salahuddin Ibnu Sjahad atau Mohammad Salahuddin Al-Ayyubi, seorang guru mata pelajaran Ilmu Tafsir di MAN Sumenep, peraih beasiswa studi S2 melalui Beasiswa Indonesia Bangkit di UIN Sunan Kalijaga. Tulisan ini merupakan kompilasi statusnya di Facebook yang kemudian dijadikannya buku berformat PDF, diberinya judul "100 Remah Hikmah: Secuil Cerita dan Sudut Pandang Baru dalam Menikmati Rutinitas Kehidupan."

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.

Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.

Posting Komentar (0)
Pixy Newspaper 11

buttons=(Accept !) days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top