Ilustrasi: Foto pixabay
EDUKASIA.ID - Pemerintah rupanya kurang jeli dalam mencerna grafik demografi di negara kita.
Semua orang yang tidak punya pekerjaan resmi dimasukkan daftar pengangguran. Para pemuda yang punya ijazah tapi belum mendapat penghasilan juga penganggur.
Maka otomatis jumlah calon tenaga kerja membengkak. Di sini yang tersinggung bukan hanya saya, tapi juga sesama kaum pengacara, alias pengangguran banyak acara.
Belum lagi ada status sosial yang dalam beragam blanko administrasi tidak terakomodasi. Semua yang berusia muda dipaksa masuk dalam kategori pelajar/mahasiswa.
Padahal saya lebih bangga dengan status santri. Segala kerjaan yang sangat vital seperti tukang becak, tukang las, tukang bangunan, nelayan dll.
Terpaksa masuk kategori wiraswasta karena dalam isian hanya ada profesi-profesi elit macam PNS, TNI Polisi, guru, dokter dll.
Padahal dari segi gaji juga tak kalah. Tanpa menafikan para rekan kerja lain yang sangat berdedikasi, saya seringkali menemukan staf dinas yang mempermainkan jam kerjanya.
Padahal gaji bulanan yang diterima sama dengan temannya yang rajin tersebut. Mereka yang saya sebut: Pekerja yang menganggur.
Korupsi waktu yang dibudayakan sedemikian parah sehingga dianggap lumrah, sehingga kadangkala kita mengelus dada saat para oknum tersebut mengaku sebagai abdi negara.
Kebalikannya adalah kaum "pengacara". Disebut pengangguran karena tidak punya penghasilan yang layak untuk sekedar hidup, tapi punya jadwal kegiatan yang padatnya minta ampun.
Seorang kenalanku yang sangat terobsesi menjadi polisi, setiap hari pada jam-jam sibuk dia stand by di perempatan untuk mengatur lalu lintas.
Tanpa dibayar. Temanku yang lain, rela menjaga persimpangan rel kereta api karena bertahun-tahun tak ada palang penghalangnya.
Kawan karibku setiap hari sudah hafal dengan variasi tugasnya sebagai abdi ndalem kiai, hampir 24 jam selalu stand by. Tanpa bayaran apapun.
Mungkin mereka itulah yang lebih layak mendapat label abdi negara. Contoh keikhlasan yang diteladankan bukan hanya diajarkan.
Saya, sering ditanya teman dan tetangga kampung, "Di Kudus kerja apa mas?" Hanya tersenyum, jawaban saya selalu sama: "santri.."
Tanpa Ikhlas, Tuhan tidak akan menerima ibadah manapun.
Tanpa dilatih, ikhlas hanya akan memenuhi bukubuku dan mikrofon para pembicara.
Yang terpenting, jika seorang ibu tak ikhlas mengeluarkan janin yang dikandungnya, bukankah kita takkan terlahir ke dunia?
**** * ****
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.