Ilustrasi: Foto pixabay
EDUKASIA.ID - Prinsip saya ini sudah kepalang tanggung mendarah daging: jujur. Tahun lalu, pada suatu pagi seorang staf kampus menelpon saya.
Saya akan secara otomatis dapat beasiswa. Lumayan: 2 juta rupiah. Saya tolak karena ada syarat penentu yang menurut teman-teman mungkin sangat ringan: meminta surat keterangan tidak mampu dari desa.
Itu hal terberat yang tidak bisa dan tak perlu saya penuhi. Bukan karena jarak rumah yang ratusan kilo jauhnya. Bahkan jika pun saya benar-benar miskin pun, saya akan segan mengurusnya ke perangkat desa.
Sederhana saja: saya malu pada Allah. Memproklamirkan kemiskinan diri di hadapan Allah yang Maha Kaya, padahal saya sudah merasa dicukupi selama ini oleh-Nya dan tak henti berdoa agar saya dijadikan pengusaha kaya dunia akhirat?
"Pak, Bu, silahkan jatah beasiswa saya dilimpahkan kepada teman saya yang lebih berhak." Jawab saya pagi itu.
Beberapa pekan berselang, ada nominal 2 juta masuk ke rekening saya. Khusus saya, ternyata mereka berrendah hati menguruskan beasiswa saya tanpa harus melanggar prinsip yang saya pegang. Tadi pagi, godaan rizqi itu terulang.
Dengan kerendahan hati dosen saya pula, saya tetap dipanggil untuk mendapatkan info bahwa saya termasuk yang berhak menerima beasiswa berdasar nilai IPK, bersama 9 mahasiswa terpilih lainnya se-kampus.
Para mahasiswa yang mungkin beberapa semester ini “merindukan” nilai IPK 3,7 ke bawah. Mereka, para dosen itu masih ragu saya akan menolaknya.
Saya tidak tanya berapa nominalnya walaupun saya tahu lebih besar karena ini nasional. Saya tidak bimbang.
Dan saya juga yakin kali ini rekening saya tidak akan mendapat transferan uang beasiswa dari kampus walau saya tidak mengurus "surat kemiskinan". Akan banyak teman lain yang lebih layak mendapatkannya.
Saya lantas kirim sms kepada kedua orang tua di rumah. Isinya, ucapan terima kasih karena telah melatih saya untuk jujur sejak kecil.
Mereka, para staf kampus tampak kasihan kepada saya. Air mata saya tertahan. Bukan karena merasa pantas dikasihani.
Justru saya merasa kasihan pada bangsa ini. Kalau generasi mudanya saja sudah distempel miskin oleh negara, pantas saja jika kelak daftar penerima BLT atau tunjangan dari pemerintah akan overload jumlahnya.
Pengantre zakat dan daging kurban akan semakin tak terhitung, walaupun sejatinya bukanlah mustahiq.
"Katakan kebenaran walau pahit." Saya setuju dengan Sayyidina Ali.
**** * ****
*Salahuddin Ibnu Sjahad atau Mohammad Salahuddin Al-Ayyubi, seorang guru mata pelajaran Ilmu Tafsir di MAN Sumenep, peraih beasiswa studi S2 melalui Beasiswa Indonesia Bangkit di UIN Sunan Kalijaga. Tulisan ini merupakan kompilasi statusnya di Facebook yang kemudian dijadikannya buku berformat PDF, diberinya judul "100 Remah Hikmah: Secuil Cerita dan Sudut Pandang Baru dalam Menikmati Rutinitas Kehidupan."
**** * ****
*Salahuddin Ibnu Sjahad atau Mohammad Salahuddin Al-Ayyubi, seorang guru mata pelajaran Ilmu Tafsir di MAN Sumenep, peraih beasiswa studi S2 melalui Beasiswa Indonesia Bangkit di UIN Sunan Kalijaga. Tulisan ini merupakan kompilasi statusnya di Facebook yang kemudian dijadikannya buku berformat PDF, diberinya judul "100 Remah Hikmah: Secuil Cerita dan Sudut Pandang Baru dalam Menikmati Rutinitas Kehidupan."
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.