Ilustrasi: Foto pixabay
EDUKASIA.ID - Di Madrasah Ibtidaiyah tempat saya belajar yang penuh dengan kesederhanaan waktu kecil dulu, salah satu hal yang masih berkesan sampai dengan sekarang adalah "outdoor class".
Entah itu inisiatif teman-teman maupun hasil rembugan para guru yang mungkin lelah berurusan dengan kenakalan kami di kelas.
Kelas 2 di MI kami adalah masa-masa yang membahagiakan karena jam sekolah yang cukup singkat: 09.00- 12.00 WIB dikarenakan ruang kelas terbatas sehingga penghuni kelas dua tiap tahun harus mengalah pada adik-adik TK yang menempati ruang kelas kami sampai dengan kepulangan pada jam sembilan pagi.
Walhasil, saya merasa diuntungkan khususnya pada hari ahad. Saya akan betah sekali di depan TV agar tidak ketinggalan serial Doraemon atau Detective Conan.
Tentunya dengan ditemani "semut-semut" yang berada di sekujur layar TV. Maklum, TV generasi jadul. Itu "pembelajaran luar kelas" saya khas hari ahad.
Dan saya berani telat masuk kelas demi membela "hak" saya itu. Kita tahu bahwa film-film kartun tak hanya penuh dengan kekonyolan, tapi terkadang ada keteladanan yang bahkan tak bisa diajarkan oleh guru kelas sekalipun.
Lagian saya tidak bisa protes karena Stasiun TV yang pilih kasih terhadap anak SD dengan memasang serial kartun yang bagus-bagus full di Ahad pagi, tidak di Jumat pagi, hari liburnya murid MI seperti saya.
Hari-hari biasa, saya bersama teman-teman sekelas yang laki-laki, ada agenda tetap: menyusuri pematang sawah dari mulai yang terdekat sampai tempat istirahat yang nyaman untuk bercengkerama sambil menghabiskan kacang telur atau jajanan lain yang saya bawa.
Hari-hari biasa, saya bersama teman-teman sekelas yang laki-laki, ada agenda tetap: menyusuri pematang sawah dari mulai yang terdekat sampai tempat istirahat yang nyaman untuk bercengkerama sambil menghabiskan kacang telur atau jajanan lain yang saya bawa.
Saya seksi konsumsi sekaligus donatur tetap untuk "ganjal perut" kami setiap kali "tour" tersebut diadakan.
Favorit kami untuk bicara ngalor-ngidul (bahasa kasar ala bojonegoronya: ngecemes..) adalah gardu dekat MI atau bangku dekat pemakaman umum desa.
Sambil menceritakan keunikan keluarga kami masing-masing, mendebatkan cerita-cerita horor yang pernah dialami, atau sekali waktu mengomentari perilaku guru-guru kami yang terkadang kami anggap "jahat".
Semua itu akan berakhir saat anak-anak TK sudah berhamburan pulang dengan ortu masing-masing.
Pada hari yang lain, biasanya pas jam olahraga, saya dan teman-teman yang sudah bosan dengan suara instruktur senam kesegaran jasmani dari kaset yang diputar, setengah memaksa guru-guru untuk mendampingi jalanjalan mengelilingi desa.
Dan itu bukan perkara yang sulit bagi mereka, mestinya. "Hanya" mengerahkan semua teman se-MI kami dari kls 1-6 yang jumlahnya tak sampai 70 anak untuk berbaris rapi berjalan berdampingan sambil meneriakkan lagu kanak-anak.
Benar-benar lagu seperti: naik-naik ke puncak gunung, di sini senang, naik kereta api, dll. Waktu itu lagu semacam "oplosan" atau "sakitnya tuh di sini" belum digemari anak-anak layaknya jaman sekarang.
Yang menyusahkan adalah jikalau kami bertemu dengan murid SD yang jagoan sepakbola. Sebagian teman-teman saya yang besar-besar pasti memilih mengalihkan pelajaran kelas ke lapangan dekat bengawan solo agar bisa olahraga full hari itu.
Kami asyik main bola ditonton para guru yang sudah bermandikan keringat. Saya menduga mereka memendam kegalauan dalam hati sambil pasrah bergumam: "eh..ya wis. Jenenge ae bocah cilik.. yo senengane dolanan.." Terima kasih, Pak Sahli Almarhum, Bu Yusrifun almarhumah, serta rekan guru-guru lain yang masih hidup & berjuang.
Semoga Allah senantiasa membalas jasa antum semua yang telah mengajarkan kami untuk mencintai kesederhanaan, untuk tetap dapat hidup dalam keterbatasan..
**** * ****
*Salahuddin Ibnu Sjahad atau Mohammad Salahuddin Al-Ayyubi, seorang guru mata pelajaran Ilmu Tafsir di MAN Sumenep, peraih beasiswa studi S2 melalui Beasiswa Indonesia Bangkit di UIN Sunan Kalijaga. Tulisan ini merupakan kompilasi statusnya di Facebook yang kemudian dijadikannya buku berformat PDF, diberinya judul "100 Remah Hikmah: Secuil Cerita dan Sudut Pandang Baru dalam Menikmati Rutinitas Kehidupan."
**** * ****
*Salahuddin Ibnu Sjahad atau Mohammad Salahuddin Al-Ayyubi, seorang guru mata pelajaran Ilmu Tafsir di MAN Sumenep, peraih beasiswa studi S2 melalui Beasiswa Indonesia Bangkit di UIN Sunan Kalijaga. Tulisan ini merupakan kompilasi statusnya di Facebook yang kemudian dijadikannya buku berformat PDF, diberinya judul "100 Remah Hikmah: Secuil Cerita dan Sudut Pandang Baru dalam Menikmati Rutinitas Kehidupan."
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.