Ilustrasi: Foto pixabay
Penulis: Salahuddin Ibnu Sjahad*
EDUKASIA.ID - Seseorang yang rela untuk menjadi saksi atas segala karunia Allah, sesuai dengan namanya: Abdullah Syahad. Bapakku.
Bapakku bukan kiai. Tapi lebih bijak daripada kiai manapun,yang pernah kukenal.
Beliau bukan menteri pendidikan. Tapi lebih sayang dunia pendidikan lebih dari cintanya pada diri sendiri.
Membangunkanku setiap pagi tanpa jemu, membiasakanku mandi tiap subuh sejak kecil, lantas mengajakku ke langgar.
Yang paling tak biasa, menyuruhku mengaji Qur'an dengan mikrofon mushola tiap bakda subuh sehingga orang sekampung sudah "terbiasa" dengan suaraku.
Lumayan lancar untuk ukuran anak kelas 2 MI. Perjuanganku bisa mengaji sangat terbantu dengan kehadiran bapak.
Kami selalu diberi roti sisir setiap kali selesai ngaji tiap ba'da magrib, sebagai hadiah pengusir kantuk. Beliau yang mengajari kami untuk baca surat yasin tiap malam jumat sebagai hadiah untuk buyut-buyut.
Mendampingi kami ke kuburan tiap kamis sore untuk berziarah, menunjukkan pada kami semua kuburan anggota keluarga besar kami yang telah berpulang, dan kembali ke rumah dengan membawa oleh-oleh khas yakni setangkai kleco: buah seukuran cherry yang biasa digunakan senjata ampuh saat main lempar-lemparan karena lengketnya seperti lem.
Hanya sekali seingatku ikut bersama bapak pergi ke lapangan kecamatan untuk "menguningkan" jalanan.
Sampai akhirnya Pak Harto lengser, para PNS beserta keluarganya selalu dikerahkan secara paksa untuk ikut kampanye Golkar.
Kupikir, hanya orang yang benar-benar awam yang setuju kevalidan lukisan pak harto di bak-bak truk atau kaos-kaos yang disertai dengan tulisan pendukung: "piye le..enak jamanku tho..?" Bapakku selalu mengajarkanku untuk menggali bakat sedini mungkin.
Aku dan abangku fasih melantunkan beberapa maqra' tilawatil qur'an walau tak semahir kakak sulung kami. Ya..kami kira hanya dia yang bisa mewarisi bakat bapak kami dengan serius.
Aku selalu kangen untuk mencabuti uban-uban yang mulai menyapa sirah bapak, menjelang sore. Berlomba dengan masku, siapa yang paling banyak bisa mengumpulkan uban yang dicabut seakar-akarnya.
Aku kangen kala touring wisata keluar kota dengan motor yamaha 80-an, yang biasa kami naiki berempat. (bukan contoh berkendara yang baik ya..)
Hingga kini aku membiarkan bapak untuk tetap menemaniku belanja pakaian di toko-toko langganan beliau di pasar induk kecamatan. Hingga kini, kalau pas di rumah aku takkan mau ke tukang cukur dan membiarkan bapak mencukurku sendiri.
Hingga kini aku tak hendak berselisih dengan bapak karena bapakku pun hampir selalu menghargai pendapatku. Bukan karena manja. Aku hanya ingin membiarkan beliau dengan bangga melaku-kan tugas sebagai orang tua.
Banyak orang tua yang tak bisa melakukan itu karena tak punya waktu yang cukup untuk sekedar menemani bermain.
Adakalanya karena tidak diberi rizki yang cukup untuk membelikan pakaian bagus atau mengajak rekreasi sesekali.
Adakalanya, memang karena tidak punya anak.
Terima kasih kepada bapak.
Atas nama besar yang diamanahkan kepadaku: Salahuddin
**** * ****
*Salahuddin Ibnu Sjahad atau Mohammad Salahuddin Al-Ayyubi, seorang guru mata pelajaran Ilmu Tafsir di MAN Sumenep, peraih beasiswa studi S2 melalui Beasiswa Indonesia Bangkit di UIN Sunan Kalijaga. Tulisan ini merupakan kompilasi statusnya di Facebook yang kemudian dijadikannya buku berformat PDF, diberinya judul "100 Remah Hikmah: Secuil Cerita dan Sudut Pandang Baru dalam Menikmati Rutinitas Kehidupan."
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.