Ilustrasi: Foto pixabay
EDUKASIA.ID - Seorang dokter akan minum Bodrex untuk mengobati sakit kepala yang dideritanya dan pastinya tanpa sepengetahu-an pasien langganannya yang selalu diberi resep obat macam-macam jika sang pasien menderita pusing yang sama.
Itu penuturan temanku yang memergoki pamannya, sang dokter di atas, yang kerap mengkonsumsi "obat warung berdosis tinggi" tersebut karena sudah merasa cocok.
Sementara dia tak akan menulis sembarang obat warung dalam resep yang harus ditebus pasien karena masih ada banyak jenis obat standar "yang dianjurkan".
Itu hampir sama dengan para dokter yang menjadi langganan tetap ahli pijat urut tetanggaku padahal selalu menyarankan pasien-pasien mereka untuk minum obat ini itu. Kalau obat yang ini habis dan ketika kontrol lagi "gak ngefek blas" sudah pasti diganti yang lain.
Saya sudah sekian kali merasakan deritanya "manusia percobaan" akibat diagnosis yang terlalu dangkal.
Untung saja mereka tidak mengeluarkan dalil sakti ala santri: "al insaan mahallul khoto' wan nisyaan.."
Hal-hal sepele dalam dunia keseharian dokter banyak yang membuat saya merasa geli dan menahan tawa.
Di suatu klinik langganan saya, suatu ketika seorang apoteker terlihat pucat pasi wajahnya setelah melihat resep dari sang dokter jaga.
Raut muka yang sama yang hanya bisa saya temui pada para siswa yang sedang mengerjakan soal ujian nasional, setelah hampir semua rekannya bernasib sama: tidak bisa membaca tulisan "ala rumput" yang tertera dalam resep tadi, jalan satu-satunya yaitu menahan malu dan bertanya langsung kepada sang dokter.
Tebakan jitu: si dokter marah-marah. Hehe..
Mungkin merasa tersinggung karena dianggap tulisannya terlalu jelek. Atau sebaliknya, menyangka sang apoteker perlu sekolah lagi..
Kita tahu bahwa calon apoteker manapun pasti dilatih laiknya Pramuka: membaca "sandi rumput" yang dibuat dokter.
Dan calon dokter manapun tak akan diluluskan dari kuliah kedokterannya kalau belum bisa "memperjelek" tulisannya.
Tentang Bodrex tadi saya ingat karena menjadi poin penting nasehat saya kepada seorang rekan santri yang malas-malasan belajar dan ngaji.
"Belajar, bagaimanapun modelnya akan tetap dianggap baik. Nah, kalau penyakit bodoh sudah berkoalisi dengan penyakit malas, dosis belajarnya harus dinaikkan dan dipaksakan. Untuk menjadi orang yang sukses diperlukan dosis yang lebih tinggi dari orang-orang biasa, dalam hal belajar dan ketekunan."
Itu komentar saya kepadanya. Wa malladzdzah illa ba'dat ta'b.
Tiada kelezatan kecuali setelah berpayah-payah..
**** * ****
*Salahuddin Ibnu Sjahad atau Mohammad Salahuddin Al-Ayyubi, seorang guru mata pelajaran Ilmu Tafsir di MAN Sumenep, peraih beasiswa studi S2 melalui Beasiswa Indonesia Bangkit di UIN Sunan Kalijaga. Tulisan ini merupakan kompilasi statusnya di Facebook yang kemudian dijadikannya buku berformat PDF, diberinya judul "100 Remah Hikmah: Secuil Cerita dan Sudut Pandang Baru dalam Menikmati Rutinitas Kehidupan."
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.