Ilustrasi: Foto pixabay
EDUKASIA.ID - Saya ingat kakak saya pernah bertanya iseng: "siapa orang terkaya sekampung kita?"
Saya urut jawaban dari pak lurah, pak carik, pak yai dan deretan nana tetangga yang kelihatannya sukses dalam bekerja.
"Bukan. Yang benar pak haji."
"Bukan. Yang benar pak haji."
Entah pak haji yang mana. Di kampung kami waktu akhir orde baru itu jumlah orang yang telah bertitel haji bisa dihitung jari tangan.
Dan sekarang...sudah bertambah. Plus jari kaki.. Jawaban itu baru saya pahami dari alasan sederhana yang dibuat teman pondok yang ketika ditanya mbah-mbah tetangga-nya: "nak..orang yang haji itu bisa jadi kaya ya..?"
Lantas dengan sekenanya dijawablah: "iya."
Orang yang berhaji itu pasti kaya (karena mampu membayar biaya sekian puluh juta) dan akan tetap dipanggil haji sampai meninggal, walaupun dia bukan kaya betulan. Dia akan diingat kaya karena "panggilan abadi" tersebut.
Orang kaya yang tak berhaji kelak jika bangkrut hanya akan diingat kemiskinannya saat mati.
Saya tambahi: Orang kaya yang terus kaya sampai dia mati dan belum berhaji, berarti dia belum sadar bahwa kekayaannya tak berarti apa-apa di hadapan Allah.
Yauma laa yanfa'u maalun walaa banuun..
yaa ayyuhannaas, antumul fuqara' ilallah
**** * ****
*Salahuddin Ibnu Sjahad atau Mohammad Salahuddin Al-Ayyubi, seorang guru mata pelajaran Ilmu Tafsir di MAN Sumenep, peraih beasiswa studi S2 melalui Beasiswa Indonesia Bangkit di UIN Sunan Kalijaga. Tulisan ini merupakan kompilasi statusnya di Facebook yang kemudian dijadikannya buku berformat PDF, diberinya judul "100 Remah Hikmah: Secuil Cerita dan Sudut Pandang Baru dalam Menikmati Rutinitas Kehidupan."
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.