Penulis: Salahuddin Ibnu Sjahad*
EDUKASIA.ID - Saya punya tetangga yang bersebelahan rumahnya tapi berbeda cara pandangnya.
Yang pertama adalah sebuah keluarga yang kesehariannya mudah ditebak: kalau gak sibuk dengan ayam ya pasti mengurusi lembu.
Maklum, sudah purna tugas alias pensiun dari departemen pertanian bagian praktikum (baca: buruh tani).
Dengan putra dan cucu yang semuanya memang tinggal di luar desa, praktis hanya kegiatan pengajian rutinan tiap akhir pekanlah yang menjadikan hidup mereka “lebih variatif”.
Sesuai dengan kategorisasi yang dibuat pemerintah, mereka mestinya tergolong keluarga tidak mampu, sekaligus non produktif, karena mayoritas kebutuhan pokok ditunjang oleh anak-anak mereka yang terbilang lumayan sukses.
Hampir tiap ada rejeki lebih atau sengaja memasak banyak, pasti selalu menyisihkan secukupnya untuk diberikan kepada keluarga kami atau tetangga terdekat lain yang mestinya lebih mampu.
Sayur makan siang yang ada di meja makan rumah saya hampir selalu transferan dari tetangga baik hati tersebut. dan saya pasti akan selalu lahap menghabiskannya (ketika di rumah) bukan karena masakannya yang enak an sich, tapi lebih karena mengharap berkah kedermawanan tadi.
Dengan tanpa sadar, keluarga tersebut telah membangun jalinan ukhuwah basyariyah-islamiyah-jiraniyah yang kuat walaupun hanya bermodal kebiasaan yang terlihat sepele: sedekah makanan.
Dengan tak sengaja, keluarga tadi telah membangun pagar mangkok yang akan mengamankan rumah seisinya dari gangguan fisik dan nonfisik, dan dari fitnah verbal maupun non-verbal. Keren.
Tetangga satunya lagi hampir mau saya protes ketika beberapa tahun lalu tiba-tiba membangun pagar tembok yang cukup tinggi dan hampir full mengelilingi rumahnya.
Pertama, karena itu berarti memusnahkan tanaman hijau yang memang sebelumnya menjadi pagar hidup.
Yang kedua, itu suatu hal yang tak lazim dan memang hanya rumah itulah satu-satunya yang berpagar tembok di kampung kami. Rumah-rumah lain hampir tak ada penghalang tetap yang resmi dijuluki pagar.
Tapi saya paham, keinginan manusia berlainan. Jadi no problem lah jika ada tetangga yang menghabiskan dana berjuta-juta karena mungkin merasa belum cukup yakin akan keamanan dari Sang Maha Aman.
Toh, itu juga uangnya sendiri. Saya hanya menyayangkan jika ada orang yang tak begitu paham tentang kebersamaan. Kerukunan.
Pagar mangkok lebih kuat daripada pagar tembok.
Itu yang saya yakini.
*Salahuddin Ibnu Sjahad atau Mohammad Salahuddin Al-Ayyubi, seorang guru mata pelajaran Ilmu Tafsir di MAN Sumenep, peraih beasiswa studi S2 melalui Beasiswa Indonesia Bangkit di UIN Sunan Kalijaga. Tulisan ini merupakan kompilasi statusnya di Facebook yang kemudian dijadikannya buku berformat PDF, diberinya judul "100 Remah Hikmah: Secuil Cerita dan Sudut Pandang Baru dalam Menikmati Rutinitas Kehidupan."
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.