Ilustrasi foto: pixabay
EDUKASIA.ID - Buku adalah jendela dunia, istilah itu masyhur bagi kebudayaan manusia, khususnya kalangan akademisi.
Buku dianggap menjadi sarana untuk memperluas pengetahuan dan memahami dunia secara lebih luas.
Namun, bagaimana jika seseorang hanya senang membeli buku saja akan tetapi tidak dengan membacanya?
Nah, kebiasaan beli buku tanpa diiringi membacanya disebut tsundoku yang akhirnya menjadikan buku-buku terbeli hanya menjadi tumpukan-tumpukan atau bahkan berserakan.
Berikut ini ulasan terkait tsundoku dan tips mengatasinya.
Menurut beberapa artikel yang dilansir, istilah tsundoku muncul di awal era kekaisaran meiji. Sekitar tahun 1868-1912 yang awalnya merupakan sebuah permainan kata. Kata Tsunde oku (積 ん で お く) yang memiliki arti membiarkan sesuatu menumpuk. Dan Oku (お く) pada Tsunde oku. Yang kemudian berubah menjadi doku (読) yang berarti membaca.
Menurut Cambridge Dictionary, tsundoku merupakan praktik membeli banyak buku dan menumpuknya karena niat untuk membacanya belum terlaksana.
Jadi dapat dikatakan, tsundoku adalah istilah yang berasal dari Jepang yang digunakan untuk seseorang yang gemar membeli buku, namun tidak diimbangi dengan kegemarannya untuk sering membacanya.
Perilaku Tsundoku
Jika dikaji dengan fenomena kontemporer yang berkembang saat ini, salah satu penyebab tsundoku bisa jadi adalah perilaku seseorang yang selalu FOMO (Fear of Missing Out).
Dalam upayanya agar tetap relevan atau mengikuti tren. Bisa jadi, perilaku tersebut menjadi penyebab untuk impulsif membeli buku, karena rekomendasi dari rekan atau ketertarikan pada sampul dari buku tersebut.
Fenomena ini, memberikan kontribusi pada perilaku belanja yang kurang terencana yang hingga akhirnya, hanya menambah tumpukan buku yang tidak terbaca.
Mengatasi Tsundoku
Esensi dari memiliki buku bukan hanya terletak pada kepemilikan fisiknya, tetapi dalam pengeksplorasian dan pemanfaatan isi buku tersebut.
Menyediakan waktu untuk membaca bisa menjadi salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut. Bisa dengan memulai menyedikan waktu 5 - 10 halaman dalam sehari, hingga nantinya akan meningkat secara bertahap.
Secara persis, tsundoku belum dapat dikatakan penyakit psikologis atau bahkan syndrome. Karena memang belum ada penelitian secara medis yang menerangkan hal tersebut. Jadi, tsundoku masih menjadi istilah saja.
Namun, hal tersebut juga bisa menjadi bahaya, salah satunya dalam faktor finansial. Karena kebiasaan yang menjadi impulsif.
Sebenarnya sah-sah saja membeli buku dengan jumlah yang relatif banyak. Namun, yang perlu diperhatikan adalah esensi yang diperlukan. Dan harus bisa menakar kemampuan kita dalam perihal membaca buku.
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.