Penulis: Salahuddin Ibnu Sjahad*
EDUKASIA.ID - Saya belum menemukan entri kosakata “jomblo” dalam kamus bahasa Indonesia manapun yang pernah saya temui dan saya cari di dalamnya.
Parahnya lagi, mbah gugel juga belum faham betul sejarah, penemu atau asal-usul kata nyeleneh untuk sinonim dari kata bujang tersebut. Dan, sebagaimana kata “santri putra” yang biasa disebut santriwan, saya juga akan dengan senang hati memakai istilah jomblowan.
Teringat lagu yang sangat populer di era 90-an:
begini nasib jadi bujangan..kemana-mana asalkan suka tiada orang yang melarang..
hati senang walaupun tak punya uang.. stop!
Nah, ini nih yang bikin masalah. Kalau kita syarahi atau bahkan dibuat hasyiyahnya, lagu ini pasti mendapat rangking syadz. Banyak janggalnya, walaupun memang tak bisa disebut menyesatkan.
Masalah pertama, kalimat pertama tidak sinkron dengan lirik sesudahnya karena terasa bertolak belakang.
Awalnya meratapi nasib sebagai bujangan. Tapi kalimat selanjutnya malah seakan-akan menyukuri dan menganggap status jomblo sebagai nikmat. Yang mana yang betul, hanya Allah dan sang pencipta lagu yang tahu…
Tapi jika dipikir dengan jernih, tentu setiap fase kehidupan ada hikmah dan manfaatnya. Seseorang yang berstatus jomblo harus faham bahwa status “kekosongan” itu perlu digunakan dengan bijak. Efektif dan efisien.
Efektif kaitannya dengan waktu, efisien terkait dengan biaya. Saya jadi teringat seorang guru saya yang juga aktif di dunia maya, menyambung pada gurunya dan gurunya lagi, tentang perbedaan pokok dan mendasar dari pemuda, dewasa dan manula, bahwa: Pemuda kaya waktu dan tenaga tapi miskin harta.
Dewasa kaya harta dan tenaga tapi miskin waktu. Manula kaya harta dan waktu tapi miskin tenaga.
Nah, dengan waktu yang masih sangat longgar karena belum banyak tanggung jawab yang diemban, mubadzir banget jikalau para pemuda mengisinya dengan hal yang cenderung sia-sia dan bukan untuk menambah pengetahuan ataupun pengalaman.
Saya akui, kebanyakan pemuda suka nongkrong and njagong. Yang membedakan adalah tempatnya. Anak orang kaya nongkrong minum kopi di starbucks sementara pemuda tunawisma bisa saja di tempat yang sama tapi di bagian dapur sedang nyuci piring.
Sama-sama njagong, tapi si Udin melakukannya di pondok, si Steve di kampus, si Ujang di pasar, si Brodin di perempatan lampu merah, tentunya dengan bahasan dan kawan yang berlainan.
Itu juga menjurus pada kalimat kedua dari lirik lagu tadi:
kemana-mana asalkan suka tiada orang yang melarang..
yang menurut saya perlu diluruskan. Seakanakan disamakan dengan budaya barat yang mudah sekali dilepaskan dari pengawasan orang tua ketika sudah masuk usia ABG.
Prinsip asalkan suka seperti mencerminkan bahwa orang yang masih muda itu belum punya pertimbangan blas dalam melangkah.
Menggeneralisir bahwa semua pemuda adalah seperti itu bisa membentuk opini yang membahayakan bangsa. Kita tahu bahwa bangsa yang kuat ditopang oleh jumlah pemuda (baca: usia produktif) yang mencukupi.
Kalimat terakhir: hati senang walaupun tak punya uang adalah analogi yang keliru. Mafhum mukholafahnya kan berarti: orang yang tak punya uang mestinya sedih. Walaupun benar bahwa punya uang adalah salah satu tanda dari senangnya hati, tapi kan tidak mesti dan bukan gejala umum yang pasti.
Pemikiran tersebutlah yang membuat bangsa ini mandeg dan anteng sekali dengan statusnya sebagai negara berkembang yang tak pernah maju.
Entah itu berkembang ke samping atau ke belakang, tapi kok gak pernah sekalikali dianggap negara maju. Ikutnya organisasi G-20 terus, padahal G-8 sudah menanti anggota baru.
Ternyata salah satu penyebab utamanya adalah kuantitas pemuda alias bonus demografi yang jumlahnya masya Allah banyaknya tak diimbangi dengan kualitas, karena masing-masing disibukkan mengurus perutnya sendiri.
Mereka (saya dan anda) sibuk mati-matian membicarakan dan merencanakan cinta lawan jenis sementara cinta pada tanah air, merah putih, bhinneka tunggal ika tak pernah diurus.
Sudah saatnya para jomblowan menjawab tantangan Bung Karno: “Beri aku sepuluh pemuda, akan kuubah dunia!”
Tentunya bukan sibuk berkutat online yang tiada guna, melainkan kerja..kerja..kerja.
*Salahuddin Ibnu Sjahad atau Mohammad Salahuddin Al-Ayyubi, seorang guru mata pelajaran Ilmu Tafsir di MAN Sumenep, peraih beasiswa studi S2 melalui Beasiswa Indonesia Bangkit di UIN Sunan Kalijaga. Tulisan ini merupakan kompilasi statusnya di Facebook yang kemudian dijadikannya buku berformat PDF, diberinya judul "100 Remah Hikmah: Secuil Cerita dan Sudut Pandang Baru dalam Menikmati Rutinitas Kehidupan."
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.