Agama dalam Pusaran Digitalisme

Pic: pixabay

Oleh: Moh. Husein Rowy
(Guru MAN Sumenep Madura)

EDUKASIA.ID - Arus pemikiran lewat pergaulan digital-walau tidak banyak peneliti memperhatikannya, perlahan tapi pasti akan menggerogoti nilai-nilai yang sudah lama tertata di masyarakat secara substansial. Konten yang bergerak di sepanjang halaman media sosial hampir tidak bisa diukur kecepatannya oleh karena begitu amat liar (out of control) dan secepat kilat menempati ruang-ruang kosong di otak manusia.

Makhluk komunikan tersebut sedang mengalami proses pengalihan jaringan dari sel-sel otak murni ke sel-sel aplikasi yang sengaja dibuat untuk mendoktrin apa saja yang termuat didalamnya. Resiko paling buruk di wilayah ini adalah keyakinan pada hal-hal yang bersifat transendental-spiritual akan beralih pada hal-hal yang bersifat artifisial. 

Artinya, kebanyakan manusia lebih percaya pada angka-angka hedonik, sementara janji Allah melalui utusan-Nya yang berisi kebahagiaan abadi di alam akhirat (the next world) semakin ke pinggir dan mulai dipertanyakan. Mereka lebih mempercayai segala sesuatu yang nyata dibandingkan yang belum terjadi.

Kondisi seperti itu bukan tidak mungkin berakhir dengan lahirnya paradigma berpikir praksis: yang penting bisa eksis, apapun caranya, yang penting bisa menjadi pemenang (the winner), apapun konsekuensinya. Orang-orang yang tadinya "kokoh" dalam memegang teguh ajaran Agama (baca: Islam). 

Oleh karena begitu kuatnya arus informasi melalui lakon digital (yang lebih mementingkan daya pikat dibanding kualitas), diam-diam mulai tertarik dan (akhirnya) terjun bebas. Maka benar apa yang pernah disampaikan oleh Baginda Rasul bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah "Kebenaran terasa seperti bara api. Jika digenggam terasa panas dan bagi yang tidak kuat akan dilepas".

Simpang-siur pendapat mengenai kebenaran hakiki semakin ramai seiring maraknya nilai-nilai baru yang berkembang amat pesat. Pada saat yang sama, masyarakat ber-Agama kehilangan daya kritis dan analisis secara simultan. Benar-salah tidak lagi menjadi kajian menarik sebagai referensi untuk tetap bisa mengawal diri menuju keabadian. 

Teks-teks suci (yang berasal dari Al-Qur'an dan Hadis) cenderung dijadikan alat legitimator untuk melindungi proganda, kecurangan, dan kepalsuan di hampir seluruh ruang dan waktu. Tragisnya, teks-teks suci itu tidak lagi dipahami sebagai sebuah pedoman hidup (way of life) yang benar, tetapi untuk menambah pundi-pundi keuntungan secara materi.

Dengan berbagai macam cara, teks-teks suci itu dimodifikasi untuk menjadi barang dagangan (komersial) yang cepat laku di tengah-tengah masyarakat konsumen. Hari ini, banyak orang lebih mempercayai "bungkus" yang terlihat memukau. Mereka tidak lagi peduli dengan isi. Digitalisasi cara pandang telah menjadi milik setiap orang. Kebenaran diukur dari "siapa" yang paling banyak follower-nya, bukan pada kedalaman Ilmunya.

Para orang tua bersama anak-anak muda berebut kedudukan di ruang media sosial untuk memastikan eksistensi dan jati dirinya. Kreativitas memoles, memalsu, memodifikasi sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dinamika kehidupan. 

Ukuran kesuksesan tidak lagi pada kemurnian berpikir dan bertindak sesuai dengan norma, tetapi pada intensitas glamour dan banyaknya sanjungan yang didapatkan dari orang lain. Orang sudah mulai berani "melawan" tradisi lelehurnya yang selalu tegar dan kokoh berpegang pada prinsip walau tak jarang terasa pahit. Tradisi sederhana namun "berkah" tergantikan kata "viral" dan terkenal.

Fenomena paling menyedihkan bagi pewaris kebenaran hakiki adalah adanya keinginan kuat untuk memamerkan kebaikan dengan cara menyejajarkan dengan kebatilan atas nama syiar dan untuk mengimbangi arus deras kemaksiatan. Mereka lupa bahwa dengan cara seperti itu, mereka telah mendegradasi nilai-nilai suci dari langit, yang mesti dijunjung tinggi dengan cara menempatkannya di posisi yang tinggi pula.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menafikan sama sekali kehadiran teknologi komunikasi, apalagi menganggapnya sebagai musuh. Sejak dulu, saat masih belum ada temuan tentang akselerasi komunikasi, orang-orang bijak (seperti Sayyidina Ali) telah mengingatkan manusia akan dampak negatif dari teknologi, ibarat pedang bermata dua—jika tidak mampu mengendalikan dengan baik, akan memotong leher pemiliknya—dan ternyata kekhawatiran itu benar-benar terjadi saat ini.

Kecanggihan teknologi komunikasi ternyata melampaui wewenangnya guna membantu manusia komunikan menemukan solusi dari persoalan yang dihadapinya. Teknologi itu telah merubah "mindset" dasar manusia dari perannya sebagai "khalifah" (sebagai wakil Tuhan dalam menjaga keberlangsungan hidup yang damai, harmoni, adil, setara, saling menghargai, saling berbagi, dan selalu menjunjung tinggi nilai kemanusiaan) ke kondisi paradoks (menipu, merampas, rakus, sombong, angkuh, apatis, egois, dan tak peduli dengan orang lain). Kondisi psikologi seperti ini memang menjadi "watak" asli dari teknologi.

Dengan kata lain, semakin dekat manusia dengan mesin, lama-lama ia akan kehilangan karakter dasarnya sebagai makhluk paling mulia, yakni makhluk yang dianugerahi multitalenta dan multidimensi sebagaimana yang digambarkan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin. 

Pada kondisi idealnya, manusia mampu memerankan dirinya sebagai penyelamat kehancuran fisik dan metafisik. Dus, karena digital adalah ciptaan manusia, maka menjadi sangat wajar jika keinginan digital itu bersifat tegak lurus dengan yang menciptakannya, bukan sebaliknya. 

Mestinya, digitalisasi kehidupan ditandai dengan kematangan ke-ILMU-an dimana manusia menjadi semakin cerdas dalam berpikir dan cerdas dalam bertindak, tidak kehilangan identitasnya sebagai insan teologis (tunduk dan percaya secara utuh pada Dzat Yang Menciptakannya dalam segala aspek) yang dengan statusnya itu ia sadar bahwa seluruh aktifitas di dunia ini tidak lain hanyalah pranata menuju akhirat (yang kekal dan abadi). 

Wallaahu A'lam.

buttons=(Accept !) days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top