Dari Tekstual Menuju Kontekstual

Potret Moh. Husein Rowy (Guru MAN Sumenep Madura). Foto: ist

Oleh: Moh. Husein Rowy
(Guru MAN Sumenep Madura)

EDUKASIA.ID - Transformasi budaya belakangan tidaklah berjalan mulus sebagaimana yang diharapkan oleh para penggiat sosio-kultural. Dalam bukunya yang berjudul "Wajah Peradaban Barat", Adian Husaini sangat prihatin dengan gejolak globalisasi yang selalu mempropagandakan nilai-nilai baru dalam pergaulan, terutama ditingkat paling krusial: peran Agama dalam penataan masyarakat. 

Kelompok yang menamakan dirinya "penyelamat ummat", anehnya, justru semakin asyik memainkan peran ambiguitas. Satu sisi, begitu nyaring berteriak tentang bahaya sekularisme. Tetapi di sisi lain, mereka malah tenggelam dalam arus tranformasi yang semakin tidak jelas identitasnya (unidentified person).

Dalam forum-forum halaqoh, dengan semangat yang prima, mereka gencar menyoroti soal lemahnya sensitivitas dalam penggunaan istilah dan nama-nama yang notabene diproduksi oleh masyarakat barat. Ikatan primordial mereka kelihatan sangat "menakutkan" bagi kelompok luar. Sebuah ikatan aksesoris dengan penampakan simbol-simbol yang (kelihatannya) islami, tetapi cenderung menjadi tertutup (eksklusif) sehingga memunculkan kecurigaan berlebih jika dilihat dari jarak jauh.

Jargon-jargon ke-Agama-an semakin diminati oleh kalangan milenial terutama bagi mereka yang sedang belajar menjadi pribadi yang utuh (mereka menyebutnya : kaffah). Fenomena seperti ini sekilas bisa dijadikan barometer kemajuan generasi muslim, apalagi jika disampaikan lewat panggung yang bernada keras dan menggema. 

Suara lantang itu menggelora, seperti banjir bandang yang hendak mengikis istilah-istilah yang mereka anggap tidak islami (oleh karena bukan berasal dari Bahasa Arab). Yang paling mengerikan ialah jika suasana seperti ini lalu melahirkan arus antagonis, yang tidak sama atau tidak sepaham dianggap musuh yang harus diperangi. Dus, wajah Islam tiba-tiba menjadi tidak ramah dan cenderung terlihat menakutkan bagi orang-orang di luar sana.

Akan lebih berbahaya bagi masa depan kemanusiaan jika gerakan ini bergerak semakin ke pinggir dan akhirnya menjadi gerakan ekstim kanan. Setiap hari mereka hanya meneriakkan hal-hal yang bersifat teks dan artikulasi. Waktu mereka habis terkuras untuk mengumpulkan kalimat verbal sebanyak mungkin tanpa disertai oleh keinginan untuk mengeksplorasi esensi dari yang mereka pelajari. Ada banyak hal yang mereka soroti dalam penggunaan istilah, sementara di banyak relasi, mereka justru terjebak di dalamnya. Mereka menganggap bahwa problem sentralnya ada diwilayah terminologi.

Ada satu hal yang jarang dipahami oleh mereka yang memproklamasikan penghapusan penggunaan istilah (seperti hari Minggu diganti dengan hari Ahad) bahwa yang sedang kita hadapi saat ini adalah "perang pemikiran atau ideologi" yang menyertakan isu-isu tetkait dengan identifikasi atau simbolisme ke-Agama-an secara membabi buta, tanpa disertai dengan kajian holistik ; bahwa persoalan yang kita hadapi bukan hanya sekedar penggunaan "papan nama", permainan istilah dan energi kita menjadi terkuras karenanya. Sisi paling essensial, yaitu pendalaman makna setiap istilah yang muncul ke permukaan untuk dijadikan rujukan dalam bertindak.

Kita sibuk mengoreksi nama-nama hari, bulan, dan tahun yang dipakai di dalam penanggalan masehi. Sementara, tanpa disadari, kita justru terlibat langsung dengan penggunaan itu, karena episentrum seperti ini tidak bisa dihindari dalam pergaulan global. Yang menjadi concern hari ini, mestinya, adalah mencari "benang merah" antara penggunaan istilah itu dengan keseharian kita berdasarkan norma-norma Agama (baca: Islam).

Suka atau tidak suka, saat ini, kita sedang berada dalam genggaman digitalisasi yang amat kuat. Generasi kita sudah terbius oleh daya pikatnya. Polarisasi sikap dan sudut pandang mereka tidak mungkin terhindar dari "message" yang tertata rapi di dalamnya. Sebagai orang tua, sejauh mana peran kita dalam mengawal dan melindungi mereka dari arus paradigma baru yang disajikan di dalam dunia "medsos"?

Ada berapa banyak kosa kata yang kita siapkan untuk merespon kemunculan istilah dalam pergaulan artificial (dunia maya) itu?

Bukankah selama ini kita hanya bisa " mengeshare" konten dari group WA yang kita miliki dan anehnya hal ini sudah dianggap cukup sebagai solusi? 

Bukanlah kita sering memposting hal-hal yang kita sendiri tidak tahu apa maksud dan tujuannya? 

Untuk bisa menjawab beberapa pertanyaan di atas, yang mesti kita lakukan adalah membenahi "pemahaman" kita terhadap ajaran Agama yang kita yakini kebenarannya. 

Wallaahu A'lam.

buttons=(Accept !) days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top