Digitalisasi Pendidikan Menuju Kegamangan

Potret Husein Rowy

Oleh: Moh. Husein Rowy
(Guru MAN Sumenep Madura)

Digitalisasi kehidupan sosial, belakangan, telah mampu mengubah wajah pendidikan di hampir setiap jenjang. Satu masa dimana pergaulan tidak lagi bersifat "facial", akan tetapi lebih menonjolkan aspek "artifisial". Mau atau tidak mau, anak didik " dipaksa" untuk tunduk pada tatanan mekanikal oleh karena begitu kepemilikan HP (android) sudah bersifat personal.

Komunikasi pembelajaran yang sebelumnya berbasis kelas dan kertas, saat ini harus berganti dengan "online", paradigma kekinian sebagai cara yang (dianggap) bijak dan tepat. Dalam konteks ini, para guru akan menghadapi banyak perubahan sikap ketika berada di depan anak didiknya. 

Perubahan dimaksud adalah ; bahwa guru sudah tidak lagi memposisikan dirinya sebagai subjek dan sumber Ilmu Pengetahuan karena sudah tergantikan oleh mesin. Guru hanya berfungsi sebagai fasilitator dan mediator antara anak didik sebagai pencari informasi dan digital sebagai sumber informasi. Guru benar-benar berdiri di antara dua arus yang berlawanan. Di satu sisi, anak didik tidak boleh ketinggalan "kereta" dengan kecepatan tinggi. Di sisi lain, mentalitas dan pembangunan karakter harus tetap berlangsung.

Disadari atau tidak, dari zona inilah, kemudian, mulai bermunculan beberapa pertanyaan krusial, di antaranya, jika jarak antara guru dan anak didik sudah dibatasi oleh mesin, siapakah yang akan berperan sebagai inspirator, motivator, dan terutama yang berkenan mengisi "hati" mereka dengan sentuhan kasih-sayang? 

Sementara, HP (handphone) tidak mungkin bisa melakukannya. Bukankah pendidikan tidak semata tentang kecerdasan intelektual (intellectual smartness)? Bagaimana dengan kecerdasan sosial (social smartness), kecerdasan emosional (emotional smartness), dan terutama kecerdasan spiritual (spiritual smartness)? Bisakah mesin menjelaskan tentang prilaku dan budi pekerti yang baik dengan contoh dan sikap (attitude)? Bisakah mesin menjelaskan persoalan-persoalan yang bersifat pribadi dan yang berhubungan dengan masalah privasi? Bisakah mesin memahami gejolak jiwa anak didik yang tak jarang sulit dipahami justeru oleh pemiliknya? Dan banyak lagi pertanyaan lainnya yang berkaitan langsung dengan kejiwaan yang tidak teoritis.

Spektrum pendidikan sejak dahulu hingga sekarang tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari tanggungjawab bukan hanya masa depan anak didik secara psikologis, tetapi juga bagaimana mereka mengolala dengan baik beberapa kata tanya, yaitu WHO (siapa dirinya), HOW (bagaimna dirinya), WHERE (sedang berada di mana dirinya). Ketiga kata tanya ini agak sulit ditemukan jawabannya jika hanya mengandalkan mesin paling canggih sekalipun. Sekali lagi, ketulusan seorang guru untuk berada di tengah-tengah mereka, untuk masuk ke dalam hati dan pikiran mereka sebagai jawabannya.

Sebagai pendidik, para guru punya kewajiban untuk mengisi otak anak didik dengan berbagai pengetahuan dan mengisi kehidupan mereka dengan beragam keterampilan. Dan yang paling menndasar adalah : guru diharapkan mampu menjadi pribadi yang diteladani oleh anak didiknya, terutama, dalam prilaku (akhlak) dan sikap hidup (way of life).

Visibilitas pendidikan kita harus diselamatkan dari cengkeraman sekularisme dan kapitalisme di mana keduanya merupakan produk budaya barat (westernisasi). Adapun ciri utama dari pendidikan sekuler adalah memisahkan entitas moral (akhlak) dengan Ilmu Pengetahuan (science for science). 

Demoralisasi seperti ini akan semakin menjadi saat bergandengan tangan dengan digitalisasi tanpa kendali. Keduanya akan berjalan beriringan menuju peradaban sekuler (bahwa ajaran Agama harus dipisahkan sama sekali dengan kehidupan keseharian). Dalam hal ini, dipandang perlu untuk memperhatikan perspektif Sayyidina Ali bahwa : teknologi ibarat pedang bermata dua, jika kamu tidak mampu mengendalikannya, maka dia akan memotong lehermu sendiri.

Pendidikan berbasis digital bukanlah barang "haram" yang tidak boleh digunakan. Kehadirannya saat ini bahkan menjadi hal yang niscaya dan tidak bisa dihindari. Kecuali dalam keadaan tidur, di genggaman anak didik kita selalu ada HP. 

Dus, ia sudah menjadi bahagian integral dari nafas kehidupan mereka. Jika kondisi ini tidak disikapi dengan bijak, dapat dipastikan akan bermunculan persoalan-persoalan baru yang bersifat antagonis dan destruktif. Nilai-nilai kebaikan yang digali dari ajaran Agama (baca : Islam) lambat laun akan tergantikan oleh norma baru "made in" digital.

Pendidikan kita harus diselamatkan dari kehancuran tatanan dan sendi-sendi sosial berupa kebebasan tanpa batas. Keluhuran ajaran Agama tidak boleh tertindih oleh memukaunya penampilan luar dan kemajuan teknologi. 

Generasi ini seharusnya menjadi pilar utama dalam bangunan yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadaban. Jangan sampai terjadi seperti yang pernah diutarakan oleh Nabi Isa Alaihissalam : membangun manusia hanya dari sisi luar (fisical) tanpa disertai sisi dalam (metafisical), ibarat membangun istana yang megah di atas samudera yang bergelombang, begitu istana itu selesai dibangun, ombak besar akan datang dan menenggelamkannya. 

Wallaahu A'lam.

buttons=(Accept !) days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top