Potret Moh. Husein Rowy (Guru MAN Sumenep Madura). Foto: ist
Oleh: Moh. Husein Rowy
(Guru MAN Sumenep Madura)
Komunitas intelektual, belakangan memasuki ruang skeptisisme yang-oleh karenanya-awalnya dianggap sebagai sisi lain dari proses adaptasi, yang tidak begitu berbahaya bagi kontinuitas keberpihakan pada kejujuran dan transparansi. Setelah berjalan agak lama, bumbu-bumbu percepatan itu menjadi bahagian integral yang akhirnya sulit dihindari. Bumbu-bumbu dimaksud adalah fenemona "luar" yang tentu tidak begitu penting ketika yang diinginkan adalah kualitas secara substansial, seperti bukti-bukti fisik berupa foto dari setiap kegiatan.
Watak manusia manipulatif, tanpa terasa, semakin tumbuh subur dengan adanya kepercayaan baru pada bukti-bukti fisik "by design" yang dirancang oleh mesin. Dari lokasi inilah cara pandang manusia terdidik benar-benar diuji: apakah akan tetap kokoh dan percaya pada isi atau fiksi sebagai hasil mutakhir dari sebuah aplikasi.
Watak manusia manipulatif, tanpa terasa, semakin tumbuh subur dengan adanya kepercayaan baru pada bukti-bukti fisik "by design" yang dirancang oleh mesin. Dari lokasi inilah cara pandang manusia terdidik benar-benar diuji: apakah akan tetap kokoh dan percaya pada isi atau fiksi sebagai hasil mutakhir dari sebuah aplikasi.
Percaya pada isi berarti masih memiliki kegairahan dalam memelihara warisan para leluhur untuk tetap berpegang pada yang "benar-benar BENAR", sesuai dengan doktrinasi Agama (baca : Islam), dengan segudang resiko yang harus diterima, seperti dianggap ketinggalan zaman (out of date) karena tidak patuh pada tatanan baru di era digital.
Kalimat terakhir di atas bisa kita buktikan bahwa tidak sedikit (jika tidak ingin disebut sebagian) dari pejuang kejujuran lebih berpihak pada paradigma lama walaupun terasa sangat menyakitkan di satu sisi. Bergerak menuju pinggiran yang tentu, semakin terasing di sisi lain. Mereka yang (dianggap) "kalah" oleh karena tidak mau menceburkan diri ke dalam lautan teknologi canggih itu, harus menerima resiko besar secara tulus dan harus pula segera menemukan kelompok baru (korban dari kekejaman aplikasi).
Kiranya kiamat semakin dekat. Hari ini, mungkin juga besok, aksi nyata tidak lagi dipahami sebagai bentuk karya nyata, sebagai wujud ejawantah dari segala sesuatu yang dipelihara dan dibesarkan di ranah pikiran sehat. Hari ini, aksi nyata sudah berupa keterampilan "merekayasa" gambar dan bentuk data lainnya sebagaimana yang dikehendaki oleh aplikasi itu sendiri. Adapun aksi nyata yang tidak disertai dengan beragam "foto-foto selfie" justru harus dianggap tidak valid, tidak sesuai dengan prosedur. Dus, menyimpang dari nilai-nilai profesionalitas, bahkan, dianggap sebuah pelanggaran.
Aneh, belakangan orang-orang pintar lebih percaya pada entitas (kulit) paling luar (outer) dari pada kualitas yang layaknya terbangun dari dalam (inner). Dalam perspektif ini, kita bisa mengatakan bahwa kecerdasan tidak lagi diukur dengan kemampuan memelihara kemurnian berpikir dan bertindak sesuai dengan prinsip ke-ILMU-an, melainkan pada gerak jemari yang memainkan tombol di atas layar. Orang-orang cerdik dipaksa untuk tunduk pada tatanan baru berupa capaian akselerasi lewat aplikasi, sementara, norma dan etika tidak punya tempat.
Situasi tragis, dimana banyak orang (secara institusional) lebih percaya pada mesin yang diciptakan oleh manusia dari pada manusia yang menciptakannya. Mereka lebih percaya pada ciptaan makhluk (berupa mesin) dari pada Allah (Al-Khaaliq). Digitalisme rupanya tidak lagi hanya berbentuk slogan dan artikulasi, tetapi sudah menjadi "agama-baru" yang lebih diyakini kebenarannya oleh karena selalu bersifat nyata dan aplikatif, hedonik dan materialistik, pragmatis dan selalu (kelihatan) estetis.
Kalimat terakhir di atas bisa kita buktikan bahwa tidak sedikit (jika tidak ingin disebut sebagian) dari pejuang kejujuran lebih berpihak pada paradigma lama walaupun terasa sangat menyakitkan di satu sisi. Bergerak menuju pinggiran yang tentu, semakin terasing di sisi lain. Mereka yang (dianggap) "kalah" oleh karena tidak mau menceburkan diri ke dalam lautan teknologi canggih itu, harus menerima resiko besar secara tulus dan harus pula segera menemukan kelompok baru (korban dari kekejaman aplikasi).
Kiranya kiamat semakin dekat. Hari ini, mungkin juga besok, aksi nyata tidak lagi dipahami sebagai bentuk karya nyata, sebagai wujud ejawantah dari segala sesuatu yang dipelihara dan dibesarkan di ranah pikiran sehat. Hari ini, aksi nyata sudah berupa keterampilan "merekayasa" gambar dan bentuk data lainnya sebagaimana yang dikehendaki oleh aplikasi itu sendiri. Adapun aksi nyata yang tidak disertai dengan beragam "foto-foto selfie" justru harus dianggap tidak valid, tidak sesuai dengan prosedur. Dus, menyimpang dari nilai-nilai profesionalitas, bahkan, dianggap sebuah pelanggaran.
Aneh, belakangan orang-orang pintar lebih percaya pada entitas (kulit) paling luar (outer) dari pada kualitas yang layaknya terbangun dari dalam (inner). Dalam perspektif ini, kita bisa mengatakan bahwa kecerdasan tidak lagi diukur dengan kemampuan memelihara kemurnian berpikir dan bertindak sesuai dengan prinsip ke-ILMU-an, melainkan pada gerak jemari yang memainkan tombol di atas layar. Orang-orang cerdik dipaksa untuk tunduk pada tatanan baru berupa capaian akselerasi lewat aplikasi, sementara, norma dan etika tidak punya tempat.
Situasi tragis, dimana banyak orang (secara institusional) lebih percaya pada mesin yang diciptakan oleh manusia dari pada manusia yang menciptakannya. Mereka lebih percaya pada ciptaan makhluk (berupa mesin) dari pada Allah (Al-Khaaliq). Digitalisme rupanya tidak lagi hanya berbentuk slogan dan artikulasi, tetapi sudah menjadi "agama-baru" yang lebih diyakini kebenarannya oleh karena selalu bersifat nyata dan aplikatif, hedonik dan materialistik, pragmatis dan selalu (kelihatan) estetis.
Masyarakat birokrat lebih takut dan tunduk pada perintah aplikasi yang mengatur tata kelola administrasi serba cepat, berbasis data kualitatif dengan cara mengabaikan perintah Tuhannya untuk senantiasa jujur dalam situasi dan kondisi apapun sebagai bentuk lain dari keyakinan bahwa setiap perbuatan yang tidak benar akan diperlihatkan secara nyata dan valid kelak di akhirat.
Kekuatan tauhid "uluhiyyah dan rububiyyah" saat ini benar-benar berhadapan langsung dengan kecanggihan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kemasan. Pada saat yang sama, secara perlahan tapi pasti, paradigma berpikir dan bertindak semakin mendekati tipologi kemunafikan (tidak adanya kesamaan antara hati dan lisan). Keimanan pada hari pembalasan, hari yang tidak bisa disiasati oleh kecanggihan teknologi, hampir mengalami krisis paradoksal ; "this planet is real and it has given what human beings want while the next world is to be nothing and just to be hearing".
Hampir semua orang hari ini menentukan kesuksesan dari banyaknya materi yang dikumpulkan, tidak peduli "halal-haram". Spektrum aplikasi telah berhasil membutakan mata hati, menutup penglihatan yang "haq" terhadap apapun yang diperjuangkan untuk bertahan dalam kehidupan (survival of the fittest). Judi "online", misalnya, baru dianggap sebuah masalah setelah dipersepsi akan merugikan negara secara menyeluruh. Yang diangkat ke permukaan bukan sel-sel yang membentuk mentalitas judi. Setelah babak belur karena kalah dalam pertarungan, baru akan belajar silat. Budaya teriak setelah terlambat.
Dalam waktu yang sama, masyarakat kita hampir tidak memiliki sensitivitas terhadap budaya aplikasi. Kepekaan dimaksud adalah berupa kemampuan untuk menempatkannya pada posisi yang benar, tidak dijadikan alasan untuk membiasakan diri menjadi pribadi "penyulap dan penipu". Menyadari betul bahwa mesin hanyalah alat bantu manusia demi kelancaran menuju "yang dituju". Seharusnya, aplikasi tidak membuka ruang bagi penggunanya untuk terbiasa hidup dalam fiksi (keterampilan di dunia maya sebagai bekal bertahan di tengah himpitan kompetisi dan kompetensi).
Oleh karena tidak mungkin aplikasi bisa memastikan apapun dan siapapun yang berbuat jujur atau curang dan tidak mungkin bisa membela kecurangan itu kelak di hadapan "ahkamul haakimiin", maka keyakinan pada janji-Nya untuk berlaku adil adalah hal yang sangat urgen untuk tetap terjaga dengan baik; bahwa kita adalah manusia, bukan makhluk aplikasi, bahkan bukan mesin itu sendiri.
Kekuatan tauhid "uluhiyyah dan rububiyyah" saat ini benar-benar berhadapan langsung dengan kecanggihan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kemasan. Pada saat yang sama, secara perlahan tapi pasti, paradigma berpikir dan bertindak semakin mendekati tipologi kemunafikan (tidak adanya kesamaan antara hati dan lisan). Keimanan pada hari pembalasan, hari yang tidak bisa disiasati oleh kecanggihan teknologi, hampir mengalami krisis paradoksal ; "this planet is real and it has given what human beings want while the next world is to be nothing and just to be hearing".
Hampir semua orang hari ini menentukan kesuksesan dari banyaknya materi yang dikumpulkan, tidak peduli "halal-haram". Spektrum aplikasi telah berhasil membutakan mata hati, menutup penglihatan yang "haq" terhadap apapun yang diperjuangkan untuk bertahan dalam kehidupan (survival of the fittest). Judi "online", misalnya, baru dianggap sebuah masalah setelah dipersepsi akan merugikan negara secara menyeluruh. Yang diangkat ke permukaan bukan sel-sel yang membentuk mentalitas judi. Setelah babak belur karena kalah dalam pertarungan, baru akan belajar silat. Budaya teriak setelah terlambat.
Dalam waktu yang sama, masyarakat kita hampir tidak memiliki sensitivitas terhadap budaya aplikasi. Kepekaan dimaksud adalah berupa kemampuan untuk menempatkannya pada posisi yang benar, tidak dijadikan alasan untuk membiasakan diri menjadi pribadi "penyulap dan penipu". Menyadari betul bahwa mesin hanyalah alat bantu manusia demi kelancaran menuju "yang dituju". Seharusnya, aplikasi tidak membuka ruang bagi penggunanya untuk terbiasa hidup dalam fiksi (keterampilan di dunia maya sebagai bekal bertahan di tengah himpitan kompetisi dan kompetensi).
Oleh karena tidak mungkin aplikasi bisa memastikan apapun dan siapapun yang berbuat jujur atau curang dan tidak mungkin bisa membela kecurangan itu kelak di hadapan "ahkamul haakimiin", maka keyakinan pada janji-Nya untuk berlaku adil adalah hal yang sangat urgen untuk tetap terjaga dengan baik; bahwa kita adalah manusia, bukan makhluk aplikasi, bahkan bukan mesin itu sendiri.
Kita adalah makhluk theologis (yang sarat dengan kesadaran bahwa kehidupan dunia ini tidaklah abadi, dibutuhkan kecerdasan spiritual yang mengajarkan akan adanya hari pembalasan, hari dimana segalanya diperlihatkan tanpa ada dinding penghalang, hari yang menunjukkan pada tempat yang abadi, SURGA atau NERAKA). Allah telah menyediakan dua tempat itu untuk kita, sesuai dengan amal-perbuatan kita selama hidup di dunia.
Wallaahu A'lam.
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.