Kesenian Angklung, Dihidupi Sekaligus Menghidupi

Sejumlah musisi-musisi muda tengah memainkan angklung di sebuah pertunjukan yang digelar oleh Saung Angklung Udjo, Jumat (19/4/2024). (Foto: ist.)

Penulis: Mg Siti Nurhaliza Safitri

EDUKASIA.ID - “Kalau di sini kita sistemnya tidak memaksa anak untuk belajar seni budaya, tetapi kita membiarkan mereka main saja. Kita membiarkan mereka kenal dengan budayanya sendiri, sampai mereka sendiri yang ingin belajar angklung,” ujar Nabila Putri yang merupakan salah satu pegawai di Saung Angklung Udjo.

Alunan nada alat musik tradisional yang terbuat dari bambu itu sayup-sayup terdengar dari Jalan Padasuka Nomor 118, Bandung. Saung Angklung Udjo merupakan salah satu sanggar kesenian khas Jawa Barat yang hingga kini konsisten melestarikan budaya setempat.

“Saung Udjo berdiri tahun 1966 oleh Almarhum Udjo Ngalagena. Awalnya, Abah Udjo Ngalagena menampilkan kesenian tradisional hanya dengan anak-anaknya. Jadi dulu itu penampilnya hanya anak-anak Abah Udjo yang jumlahnya ada sepuluh orang. Lama kelamaan jadi ke tetangga dan meluas. Hingga sekarang kita punya 500 murid,” ungkap Nabila saat diwawancarai di Saung Angklung Udjo, Jumat (19/4/2024).

Dahulu kala, masyarakat Sunda percaya bahwa angklung merupakan salah satu sarana untuk berkomunikasi dengan Dewi Sri Pohaci atau Dewi Kesuburan. Oleh karena itu, mereka menggunakan angklung sebagai alat penunjang ritual seusai panen padi berlangsung sebagai bentuk rasa syukur. Angklung yang digunakan pun belum memiliki nada yang beragam.

“Dulu itu angklung belum ada nadanya. Sampai angklung dibuat bernada diatonis oleh Pak Daeng Soetigna, maka dari itu angklung yang ada sekarang sering juga disebut sebagai Angklung Padaeng. Nah setelah sudah jadi angklung diatonis, barulah Abah Udjo Ngalagena, pemilik dan pendiri tempat ini menciptakan angklung dalam tangga nada tradisional, yaitu pentatonis,” ucap Nabila dengan bangga.

Seperti yang dijelaskan oleh Nabila, murid-murid Saung Angklung Udjo mempelajari kesenian tradisional tanpa ada paksaan dari pihak mana pun. Ia bercerita bahwa dalam menampilkan pertunjukan angklung, murid-murid dibagi menjadi beberapa kelompok, lengkap dengan pembimbing yang akan mengedukasi mereka.

“Kalau misalkan di hari-hari peak season itu kan sehari bisa ada empat kali pertunjukan, jadi kalau pagi jam 10 yang main grup A misalkan, siang grup B. Dirolling. Biasanya mereka ada kakak asuhnya sendiri, jadi ngikutin kakaknya,” jelas Nabila lebih lanjut.

Selain dihidupi oleh generasi penerus, tampaknya angklung juga bisa menghidupi sebagian orang.  Contohnya Saepul, seorang pengamen angklung yang sudah berkarya sejak 2014 silam.

Merasa bertanggung jawab untuk melestarikan kebudayaan tradisional, ia bersama kawan-kawan seperjuangannya bergabung dalam Sanggar Angklung Laras Wulung dan memutuskan terjun ke jalan demi menghibur masyarakat di tengah padatnya arus lalu lintas.

“Awal mula kita sih dari kekompakan tim juga. Pertama ada ketua pimpinan, diterusin sama anaknya. Anaknya nerusin, sama kita-kita dikembangin. Ada grup lain ngikut, terus jadi bisa, punya rombongan lagi,” ujar Saepul ketika diwawancara di sekitar kawasan Universitas Pamulang, Tangerang Selatan, Senin (3/6/2024).

Saepul bercerita bahwa sebenarnya ia dan teman-temannya juga berprofesi sebagai kuli bangunan. Ketika merasa jenuh, mereka akan kembali ke jalan sambil membopong peralatan musik yang mereka miliki, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

“Kadang kita kerja di bangunan, cuman bosen, balik lagi ke jalanan. Kita biasa main di Pondok Pinang, kadang di Gaplek, kadang di PLN. Ya sekitar daerah Jakarta Selatan lah. Sering juga diundang buat acara hajatan di gedung-gedung gitu,” jelas Saepul.

Kondisi jalanan tentunya sangat berpengaruh terhadap pendapatan yang mereka hasilkan. Jika arus lalu lintas padat, setiap anggota dapat menghasilkan kurang lebih Rp100.000 per hari. Namun jika langit sedang tidak berpihak, sepeser rupiah pun menjadi sangat langka untuk didapat.

“Gak bisa ditarget sih, kadang Rp70.000, kadang Rp100.00. Gak dapet duit pun kita pernah gitu, biasanya kalau lagi hujan. Kalau dari acara baru kita bisa nargetin. Tergantung per jam dan lokasi, kita nargetnya dari situ,” ucapnya lebih lanjut.

Saepul bertekad bahwa upayanya untuk turun ke jalan merupakan salah satu cara yang bisa ia lakukan agar kesenian warisan leluhur tidak punah tergerus zaman.

“Biar gak punah. Ini kan musik tradisional asli dari Indonesia. Apalagi sekarang udah banyak yang main angklung di luar negeri. Kita yang di dalam negeri ikut melestarikan juga,” ungkapnya dengan yakin.

buttons=(Accept !) days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top