Malahayati, Pahlawan Nasional Penyandang Gelar Laksamana Perempuan Pertama di Dunia

Gambar sosok pahlawan nasional Cut Nyak Dien. Foto: Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY.

Penulis: Mg. Eka Fitria Lusiana

EDUKASIA.ID - Kemerdekaan bangsa Indonesia tidak didapat dengan mudah, terdapat sejarah panjang dan pengorbanan luar biasa yang melibatkan pahlawan besar, salah satunya adalah Malahayati, perempuan pemberani yang melawan kolonialisme.

Malahayati mendapat penganugerahan gelar ‘laksamana’ oleh Sultan Riayat Syah, dan menjadi perempuan pertama yang menyandang gelar tersebut. Dikutip dari buku Perempuan Keumala, Malahayati diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo pada 9 November 2017 berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 115/TK/Tahun 2017.

Namun, sedikit orang yang mengenal sejarahnya. Dilansir dari budaya.jogja.id, informasi mengenai Malahayati memang lebih banyak ditemukan pada literatur Belanda maupun China. Meski namanya di Indonesia tidak sepopuler Cut Nyak Dien. Akan tetapi, peneliti Barat mensejajarkan Malahayati dengan Semiramis, Permaisuri Raja Babilon, dan Katherina II, Kaisar Rusia.

Menelisik sejarah Laksamana Malahayati sendiri, Ia merupakan perempuan berdarah biru dari Kesultanan Aceh yang pernah menjadi Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV, pada tahun 1585-1604.

Perlawanan pertama kali yang pernah dilakukannya adalah melawan kolonialisme Portugis di perairan Teluk Haru dekat Selat Malaka pada 1586. Pada saat itu, suaminya, Laksamana Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief, menjadi pemimpin dalam pertempuran tersebut. 

Perjuangan keduanya berhasil memukul mundur puluhan kapal kayu Kesultanan Aceh yang berusaha mencegat kapal-kapal perang Portugis. Namun, suaminya harus gugur dalam medan pertempuran.

Setelah suaminya gugur, Malahayati menuntut balas dengan membentuk sebuah pasukan perempuan yang diberi nama Inong Balee atau prajurit perempuan yang berstatus janda, berjumlah 2.000 orang. Pasukan perempuan tersebut merupakan para janda (istri) dari para prajurit yang juga gugur ketika bertempur melawan Portugis.

Dikutip dari Indonesia.go.id, Mereka membangun sebuah Benteng Inong Balee di perbukitan yang tak jauh dari pesisir Teluk Lamreh, Krueng Raya, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Dari benteng tersebut mereka mulai menjalankan misi khusus untuk mengamankan jalur laut perdagangan kesultanan serta mengawasi pelabuhan-pelabuhan samudra Aceh.

Sampai pada tanggal 21 Juli 1599, dua kapal Belanda yang dipimpin dua bersaudara Coernelis de Houtman dan Fedrick de Houtman singgah di Aceh untuk mencari rempah-rempah. Mereka tidak menduga bahwa Laksamana Malahayati dan pasukan Inong Balee akan menyerang kapal keduanya. 

Dalam penyerangan itu, Cournelis de Haoutman terbunuh ditangan Malahayati. Sedangkan Fedrick de Haoutman ditawan dan dijebloskan ketahanan Kerajaan Aceh.

Penyerangan ini menggemparkan bangsa Eropa, terutama pihak Belanda. Malahayati berhasil membuat Paulus van Caerden membayar ganti rugi sebesar 50.000 gulden atas peperangan yang ditimbulkan demi membebaskan prajurit-prajurit yang dipenjara.

Kehebatan Malahayati dalam memimpin Angkatan perang diakui oleh negara Eropa, Arab, China dan India. Banyak orang asing yang telah mencatat sejarahnya. Nama perempuan tangguh itu, kini melekat pada kapal perang RI yakni KRI Malahayati, nama kampus, nama Pelabuhan, nama jalan, nama rumah sakit dan lain sebagainya.

buttons=(Accept !) days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top