EDUKASIA.ID - Pondok Pesantren (Ponpes) Attanwir, yang berada di desa Talun, Sumberrejo, Bojonegoro Jawa Timur, merupakan salah satu ponpes tertua (berusia 91 tahun) dan terbesar di kabupaten tersebut.
Saat ini Ponpes Attanwir masih aktif dan terus berkembang mengalami berbagai kemajuan signifikan dalam sistem pembelajaran maupun dalam fasilitas dan infrastrukturnya.
Kesuksesan Ponpes Attanwir yang kini memiliki puluhan unit pendidikan formal dan non formal, dari PAUD hingga perguruan tinggi dengan ribuan santri tersebut, tak lepas dari peran Almaghfurlah KH. Muhammad Sholeh (masyarakat mengenalnya dengan 'Mbah Yai Sholeh') sosok yang memiliki peran besar dalam mendirikan dan mengembangkan Pondok Pesantren Attanwir.
Dikutip dari skripsi Muhamad Huda yang berjudul “Peran KH. Muhammad Sholeh dalam Mengembangkan Pondok Pesantren Attanwir Talun Sumberrejo-Bojonegoro pada Tahun 1954-1992” bahwa ponpes ini awalnya berfungsi sebagai sarana dakwah untuk masyarakat desa Talun, yang saat itu berada dalam kondisi memprihatinkan.
Saat itu, tak sedikit warga desa yang terlibat dalam perjudian, mabuk-mabukan, dan sering mengadakan acara-acara yang mengundang kemaksiatan.
Mbah Yai Sholeh merasa terpanggil untuk memperbaiki perilaku masyarakat desa Talun agar sesuai dengan ajaran agama Islam.
Berawal dari sebuah Mushola
Awalnya, bangunan Ponpes Attanwir merupakan sebuah mushola yang dibangun oleh H. Idris, seorang tokoh kaya dari desa Talun dan paman dari Mbah Yai Sholeh. H. Idris mempersiapkan mushola tersebut untuk Mbah Yai Sholeh, yang telah diangkat sebagai anaknya, agar dapat mengamalkan ilmu yang diperolehnya selama belajar di Pondok Pesantren Maskumambang, Gresik.
Pada tahun 1933, Mbah Yai Sholeh mulai mengajar di mushola yang telah disiapkan oleh ayah angkatnya. Beliau memulai dengan mengajarkan membaca Al-Qur'an, menulis huruf Arab, tata cara beribadah yang benar, dan berbagai pelajaran lainnya.
Mbah Yai Sholeh melaksanakan kegiatan pembelajaran setiap hari setelah sholat Ashar hingga menjelang sholat Isya’.
Semua kegiatan ini dilakukan oleh beliau sendiri dengan penuh ketelatenan, keuletan, kesabaran, dan keikhlasan.
Setelah beberapa bulan, jumlah santri yang datang untuk mengaji meningkat pesat, dari sekitar 10 anak menjadi sekitar 40 anak, baik dari desa Talun maupun desa-desa sekitarnya.
Seiring bertambahnya jumlah santri, mushola yang digunakan untuk belajar mengajar dan sholat berjamaah tidak lagi mampu menampung jumlah mereka.
Untuk mengatasi masalah ini, mantan kepala desa Talun, yang sebelumnya sangat membenci Mbah Yai Sholeh, akhirnya turut membantu dengan membeli sebuah rumah dari kayu jati yang lebih besar dan mewakafkannya untuk pembangunan mushola yang lebih luas.
Dengan semakin banyaknya santri, baik putra maupun putri, serta kebutuhan santri dari luar daerah yang memerlukan tempat menginap, timbul keinginan untuk membangun rumah bagi mereka.
Permintaan masyarakat dan umat yang ingin mempelajari agama Islam dan menjalankan syariatnya dengan baik semakin meningkat, sehingga muncul ide untuk mendirikan pondok pesantren.
Ditentang mantan Kepala Desa
Usaha dan perjuangan Mbah Yai Sholeh dalam mengembangkan Ponpes Attanwir tidaklah mudah. Beliau menghadapi banyak rintangan dan tantangan, salah satunya datang dari mantan kepala desa Talun yang merupakan orang abangan.
Melihat perkembangan pesantren yang semakin ramai santrinya, mantan kepala desa tersebut berusaha menghasut para santri dan sering mendatangi rumah Mbah Yai Sholeh untuk berdebat tentang agama.
Namun, setiap kedatangan kepala desa tersebut disambut dengan baik oleh Mbah Yai Sholeh.
Akhirnya, kepala desa tersebut sadar dan meninggalkan kepercayaan lamanya, kemudian memeluk agama Islam.
Sejak saat itu, dia meminta bimbingan dari Mbah Yai Sholeh dan aktif mengikuti semua kegiatan mengaji di pondok.
Bahkan, mantan kepala desa tersebut mewakafkan rumahnya untuk pembangunan mushola baru.
Mushola yang lama dipindahkan dan dijadikan sarana belajar serta tambahan kamar untuk santri.
Sholat Jumat pertama di Masjid Ponpes
Pada tahun 1938, Mbah Yai Sholeh mulai menyelenggarakan kegiatan sholat Jumat berjamaah di mushola yang telah diwakafkan oleh H. Idris, karena jamaah mushola sudah banyak dan persyaratan lainnya telah terpenuhi.
Sebelumnya, warga Talun mengikuti sholat Jumat di Masjid Sumberrejo.
Pembukaan sholat Jumat pertama di mushola tersebut dihadiri oleh KH. Hasyim, Penghulu Bojonegoro, yang juga memberikan tausiyah setelah sholat.
Kegiatan pengajian dan ibadah lainnya di mushola itu semakin diminati warga, sehingga jumlah santri yang datang bertambah dari berbagai desa sekitar Talun.
Pada tahun 1951, Mbah Yai Sholeh menerima wakaf rumah dari Ibu Salamah dari Desa Jati Gedhe dan Abdul Hamid dari Dusun Gumelem. Rumah-rumah ini dibangun kembali di atas tanah wakaf dari Bapak Ya’kub yang kini menjadi lokasi pondok putri di sebelah selatan, yang dulunya digunakan untuk Madrasah Diniyah .
Dengan semakin banyaknya santri dan jamaah, Mbah Yai Sholeh memutuskan untuk membangun masjid permanen pada tahun 1957.
Dana dikumpulkan dari masyarakat Desa Talun dan sekitarnya, dengan bantuan uang, material, tenaga, dan makanan. Masjid Al-Muttaqin yang luasnya 11x16 meter selesai dibangun dan diresmikan pada akhir tahun 1958.
Mendirikan Madrasah Muallimin Al-Islamiyah
Pada tahun 1960, Mbah Yai Sholeh mendirikan gedung baru untuk Madrasah Muallimin Al-Islamiyah yang berukuran 21x8 meter.
Gedung ini diresmikan oleh Bupati Bojonegoro, H.R. Tamsi Tedjosasmito. Mushola lama dipindahkan dan dibangun ulang sebagai bagian dari madrasah Aliyah .
Dengan bertambahnya santri, pada tahun 1967 dibangun gedung baru seluas 8x28 meter di atas tanah wakaf dari Kasmo.
Pada tahun 1982, dengan semangat gotong royong, wali santri dan warga Talun membangun gedung permanen lainnya. Pada tahun 1984, dapur santri direnovasi menjadi bangunan dua lantai untuk asrama putra .
Selanjutnya pada tahun 1985, Mbah Yai Sholeh menerima wakaf tanah dari Hj. Ummi Kulsum dan H. Abu Sujak. Di atas tanah ini dibangun gedung baru untuk madrasah. Pada tahun 1988, rumah dan tanah milik H. Khusnan dibeli dan diwakafkan oleh H. Muslih untuk keperluan pondok dan madrasah .
Pada tahun-tahun berikutnya, Mbah Yai Sholeh terus mengembangkan sarana dan prasarana pondok pesantren, termasuk membangun tambahan gedung, asrama, dan kantor untuk mendukung kegiatan belajar dan kehidupan santri.
Pembangunan ini meliputi renovasi gedung lama dan penataan lahan yang ada, serta pemanfaatan tanah wakaf baru .
Kombinasi model pembelajaran tradisional dan modern
Pondok Pesantren Attanwir, yang didirikan pada tahun 1933 oleh Mbah Yai Sholeh, pada awalnya menerapkan metode pembelajaran tradisional, yang dikenal sebagai pesantren Salafiyah. Dalam model pembelajaran ini, Mbah Yai Sholeh menggunakan beberapa metode utama.
Metode wetonan diterapkan dengan cara Mbah Yai Sholeh membacakan dan menerjemahkan seluruh isi kitab di depan santri ke dalam bahasa Jawa.
Selanjutnya, dalam metode sorogan, santri datang secara individual dengan membawa kitab masing-masing untuk dibaca dan dijelaskan oleh Kiai, sementara santri menyimak dan menandai kitab mereka sebagai bentuk pengesahan.
Selain itu, terdapat pula metode bandongan dan halaqoh, yang melibatkan belajar secara berkelompok dengan diskusi untuk memahami isi kitab dan mempertanyakan materi yang diajarkan.
Kegiatan mengaji di pesantren ini dilaksanakan setiap sore setelah sholat Ashar hingga menjelang sholat Isya’, dengan kurikulum sepenuhnya dikendalikan oleh Mbah Yai Sholeh sebagai pengasuh pesantren.
Seiring dengan perkembangan zaman, Ponpes Attanwir terus berinovasi dengan mengadopsi metode pembelajaran modern sambil tetap mempertahankan metode tradisional.
Untuk mengimbangi perubahan zaman, pondok pesantren ini mendirikan madrasah formal yang menerapkan kurikulum nasional, seperti Madrasah Ibtidaiyah pada tahun 1954 dan Madrasah Muallimin Al-Islamiyah pada tahun 1961.
Selain itu, berbagai kursus diperkenalkan untuk mengembangkan keterampilan tambahan santri, seperti bahasa Inggris, bahasa Arab, dan komputer, dengan tujuan membentuk santri yang mandiri dan terampil.
Pelatihan juga diberikan untuk meningkatkan kemampuan psikomotorik santri melalui kegiatan seperti bercocok tanam, menjadi guru, dan berpidato dalam berbagai bahasa.
Dalam upaya menerapkan sistem pembelajaran modern ini, Mbah Yai Sholeh mendatangkan guru-guru berpengalaman dari alumni Pondok Pesantren Gontor dan membuka lembaga pendidikan formal seperti Madrasah Diniyah Putri dan Madrasah Ibtida’iyah, yang terintegrasi dengan kurikulum nasional.
Peran penting pendidikan agama di masyarakat
Mbah Yai Sholeh memainkan peran penting dalam pendidikan agama masyarakat di Desa Talun melalui berbagai kegiatan utama.
Salah satu inisiatif utamanya adalah pembentukan Majlis Ta’lim, sebuah perkumpulan masyarakat yang bertujuan untuk mendalami agama Islam dan menjalin silaturrahmi antar warga.
Majlis Ta’lim ini juga berfungsi sebagai sarana dakwah dan pendidikan di Ponpes Attanwir, yang membuat banyak warga bergabung secara sukarela untuk belajar mengaji.
Mbah Yai Sholeh memelopori Pengajian Jum'at yang dimulai pada akhir tahun 1958, bertepatan dengan peresmian Masjid Al-Muttaqin di pesantren.
Awalnya, pengajian ini diadakan pada Kamis malam setelah sholat Isya' untuk masyarakat Talun dan para santri.
Namun, karena semakin banyaknya peminat, pengajian ini kemudian diperluas untuk masyarakat umum dan diadakan setiap Jumat pagi, sementara Kamis malam tetap untuk masyarakat Talun dan santri.
Kegiatan pengajian ini masih berlangsung hingga kini, dikelola oleh keluarga Mbah Yai Sholeh, dan mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat, khususnya dari Desa Talun.
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.