Nama Pengarang : Leila S. Chudori
Tahun Terbit: 2017
Tebal : 379
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
ISBN : 978-602-424-694-5
Harga Novel : Rp. 100.000
Resentator : MG. Agustin Fajariah Asih
Siapa sih, yang tak kenal dengan Wiji Thukul? Seorang penyair sekaligus aktivis yang puisinya kerap dibacakan saat menjelang demonstrasi. Pembacaan puisi Wiji Thukul tersebut, bukan tanpa maksud tentunya. Para kaum aktivis menolak lupa atas perjuangan Wiji Thukul saat melawan tirani Orde Baru. Wiji Thukul hilang entah ke mana beserta 13 temannya.
“Matilah engkau mati. Kau akan lahir berkali-kali....” [1]. Begitulah sajak pembuka dalam prolog novel Laut Bercerita. Leila Salikha Chudori tampak mengajak pembaca untuk berinteraksi dan turut membayangkan secara langsung kejadian dalam cerita. Laut Bercerita ini membawa pembaca untuk melintasi perjalanan sejarah Indonesia dalam bentuk narasi yang penuh warna. Leila S. Chudori menggabungkan kejadian sejarah yang jarang diangkat dengan kisah imajinatif, sehingga menciptakan sebuah cerita yang menarik dan berkesan. Pengarang merancang novel ini dengan teliti, dan menggambarkan peristiwa sejarah melalui sosok, bernama Laut.
Alur cerita dalam novel ini mengisahkan perjuangan mahasiswa pada masa Orde Baru, khususnya tahun 98. Kisah ini menyoroti sekelompok mahasiswa yang gigih memperjuangkan hak-hak rakyat, terutama hak para pembaca. Mereka para aktivis 98 itu, berasal dari komunitas mahasiswa, termasuk dari Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), serta mahasiswa dari Jogja dan Depok. Lewat tokoh utama bernama Laut, dan juga teman-temannya yang tergabung dalam organisasi Winatra dan Wirasena, perlawanan-perlawanan itu dimulai.
Dalam novel ini, Laut dan rekan-rekannya melakukkan gebrakan melalui sebuah aksi gerakan membela rakyat yang hak-haknya dirampas oleh pemerintah. Bukan sekadar bersorak sorai saja, aksi ini adalah seruan kemanusiaan. Sebelum dilancarkan aksi, mereka merencanakan strategi dengan matang. Langkah awalnya adalah berdiskusi, diskusi yang harusnya berjalan dengan lancar justru mengalami hambatan karena ada seorang intel yang mendatangi mereka tiba-tiba. Peristiwa ini mengingatkan kita pada kekejaman masa Orde Baru, yang digambarkan dengan sangat detail oleh Laila S. Chudori dalam novel ini.
Melalui tulisan yang menarik, dan alur yang runtut, Leila S. Chudori juga menggambarkan kekejaman masa Orde Baru, yaitu masa presiden Soeharto, dalam novel ini, digambarkan bengisnya masa orde baru melalui teror kepada segenap mereka yang berani bersuara. Dibawah kuasa tirani, orang-orang itu disekap, disiksa dan dihilangkan. Buku dalam genre novel ini menjadi sebuah bentuk perlawanan, mengingat masih banyak orang yang hingga saat ini belum ditemukan, termasuk tokoh seperti Wiji Thukul, yang konon memiliki peran dalam cerita ini. Sebagai tambahan, novel ini tidak hanya menggambarkan kejamnya Orde Baru, tetapi Leila S. Chudori juga menampilkan sudut pandang lain yaitu dampak tirani orde baru terhadap keluarga korban yang sangat mengharukan.
Leila S. Chudori cukup piawai dalam membungkus kisah sejarah dalam novelnya. Dirinya memoles sejarah dengan kemampuan berbahasanya, lalu menghidupkan dialog dan deskripsi dengan kata-kata yang indah. Penggunaan bahasa yang beragam memberikan dimensi tambahan pada setiap halaman, menjadikan pengalaman membaca lebih mendalam. Kerangka cerita yang solid memungkinkan pembaca merasakan kedalaman emosi dan ketegangan sepanjang alur cerita.
Novel ini terbagi menjadi dua bab; bab pertama, Biru Laut dan bab kedua, Asmara Jati. Pada awal bab, Leila S. Chudori memperkenalkan tokoh-tokoh dengan baik. Beragam tokoh diperkenalkan, tidak hanya tokoh utama seperti Laut. Teman-temannya memiliki peran masing-masing, memberikan dukungan kepada Laut, dan setiap tokoh memiliki cerita sendiri.
Kemudian, pada bab kedua justru bercerita tentang kisah Asmara, adik perempuan Laut. Sebagai penutup, pada bab kedua ini, diceritakan bahwa Asmara dan keluarganya, tanpa Laut melangsungkan makan malam bersama. Kisah haru dalam makan malam yang dilaksanakan setiap minggu, adalah sepiring nasi dengan hidangan lengkap untuk anaknya, Laut. Bapak selalu menyiapkannya, berharapa agar Laut segera pulang. Namun, hasilnya selalu nihil. Keluarga itu menjadi tidak lengkap tanpa Laut, yang menghilang entah di mana.
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.