Tradisi Dugderan Semarang. Foto: visitjawatengah.jatengprov.go.id |
Penulis: Mg. Agustin Fajariah Asih
EDUKASIA.ID - Tradisi Dugderan menyapa warga Semarang saat datangnya bulan suci Ramadan. Tradisi yang sudah berlangsung sejak zaman kolonial ini, tidak hanya menjadi perayaan tahunan, tetapi juga sarana untuk melestarikan nilai-nilai budaya dan religius.
Dikutip dari Tesis Akhmat Nurul Khaeroni, dugderan merupakan festival khas yang diawali dengan pagelaran pasar rakyat selama 12 hari.
Puncak acara ditandai dengan kirab budaya yang menampilkan maskot warak ngendog, diikuti dengan pembacaan hasil itsbat dan pemukulan bedug di Alun-Alun Masjid Agung Semarang.
Prosesi ini menjadi simbol persatuan dan kebersamaan bagi seluruh elemen masyarakat tanpa memandang perbedaan.
Mahmutarom, salah satu warga Semarang, menyampaikan bahwa Dugderan tidak hanya sekadar tradisi, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai filosofis.
"Tradisi ini mengandung pelajaran penting tentang kebersamaan dan penghormatan terhadap leluhur. Dalam menjalani hidup dan membangun negara yang maju, kita harus senantiasa menjaga dan melestarikan tradisi ini," ujarnya.
Selain itu, dalam wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat, Triyanto, disampaikan bahwa Dugderan menjadi wadah untuk merajut kebersamaan.
"Dugderan bukan hanya tentang perayaan menyambut Ramadan, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat bisa berkumpul dan berinteraksi tanpa adanya sekat. Ini adalah momen di mana kita mengajarkan pentingnya menjaga persatuan," tuturnya.
Dikutip dari Tesis Akhmat Nurul Khaeroni, dugderan yang dimulai dari Balaikota Semarang hingga Masjid Agung Jawa Tengah, menghadirkan berbagai elemen budaya, mulai dari gamelan, barongsai, hingga pasukan merah putih. Setiap elemen yang dihadirkan tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga pengingat akan pentingnya merawat warisan budaya yang telah ada sejak lama.
Semangat yang diusung dalam tradisi Dugderan ini selaras dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya kebersamaan dan persatuan umat. Oleh karena itu, sudah sepatutnya tradisi ini terus dijaga dan dilestarikan sebagai bagian dari identitas budaya dan religius warga Semarang.
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.