Menelusuri Jejak Praktik Upacara Mahesa Lawung di Keraton Surakarta Hadiningrat

Prosesi upacara Mahesa Lawung. (Foto: Kemdikbud).

Penulis: Mg Siti Nurhaliza Safitri

EDUKASIA.ID - Mahesa Lawung merupakan salah satu upacara adat yang masih dilestarikan di Keraton Surakarta Hadiningrat, Jawa Tengah hingga saat ini.

Dalam bahasa Jawa, mahesa memiliki arti kerbau, sementara lawung berarti tombak. Adapun yang dimaksud dengan upacara Mahesa Lawung adalah ritual penguburan kepala kerbau yang bertujuan untuk meminta keselamatan pada Tuhan.

Melansir dari Skripsi milik Restu Budi Setiawan dengan judul "Bentuk, Makna, dan Fungsi Sesaji Mahesa Lawung dalam Tradisi Ritual di Keraton Surakarta Hadiningrat", ritual ini bermula saat Sri Susuhunan Pakubuwana II berhasil memindahkan ibu kota kerajaan yang semula berada di Kartasura ke desa Sala pada tanggal 17 Sura je 1670 Saka atau bertepatan dengan tanggal 26 Rabingul Akhir (Bakda Mulud) Je 1670 Saka.

Untuk memanjatkan rasa syukur atas rahmat Tuhan yang telah memberikan keselamatan, 100 hari setelah pemindahan ibu kota diadakan upacara Wilujengan Nagari Mahesa Lawung yang terus dilaksanakan hingga saat ini.

Maka dari itu, upacara Mahesa Lawung selalu dilaksanakan pada hari Senin atau Kamis di bulan Bakda Mulud atau Rabiul Akhir yang bertempat di hutan Krendhowahono.

Merujuk dari Jurnal Jantra dengan judul "Upacara Tradisi Wilujengan Nagari Mahesa Lawung Kraton Surakarta di Krendhawahana", upacara Mahesa Lawung dimulai dengan proses memperoleh bahan sesaji karena terdapat beberapa ketentuan yang harus ditaati.

Kerbau yang digunakan untuk ritual ini harus merupakan kerbau umbaran atau liar (tidak dikandangi), berumur muda, perjaka, dan tenaganya belum digunakan untuk keperluan manusia.

Kerbau yang masuk dalam kriteria tersebut kemudian disembelih dengan menggunakan aturan penyembelihan dalam agama Islam, yakni sambil membaca surat Al-Fatihah dan kalimat takbir.

Darah kerbau yang pertama kali mengalir akan diambil sebagai salah satu syarat sesaji, sementara bagian tubuh kerbau lainnya seperti kepala, daging, paru, hati, dan jantung ditempatkan di bejana besi yang kemudian akan diolah menjadi sesaji.

Perlengkapan lain yang dibutuhkan sebagai bahan sesaji adalah berbagai macam jenis bunga, seperti bunga mawar, melati, dan purbanegara (bunga matahari).

Selain bunga, bahan lain yang perlu disiapkan adalah beberapa macam tumpeng, jadah (makanan dari beras ketan), jajanan pasar tradisional, serta berbagai macam minuman seperti kopi, kelapa muda, dan minuman keras seperti jenewer hingga ciu.

Bahan-bahan tersebut akan diolah untuk menjadi sesaji di dalem Gandarasan atau dapur Keraton Surakarta Hadiningrat. 

Setelah selesai diolah di Gandarasan, kemudian sesaji akan dibawa ke kompleks Siti Hinggil, Keraton Surakarta Hadiningrat untuk diadakan prosesi awal bernama Wilujengan Nagari berupa pemanjatan doa diiringi dengan pembakaran kemenyan madu.

Seusai itu, petugas pelaksana Mahesa Lawung akan berangkat ke hutan Krendhowahono menggunakan kendaraan roda empat dengan waktu tempuh kurang lebih selama 40 menit.

Sesampainya di sana, para petugas upacara Mahesa Lawung akan membawa sesaji dan menatanya di pundhen yang berada di bawah pohon beringin tempat penguasa bangsa jin, Batari Kalayuwati mendirikan kerajaan.

Ritual Mahesa Lawung kemudian dibuka dengan memanjatkan doa yang dipimpin oleh ulama keraton serta abdi dalem Suranata. Uniknya, dalam doa tersebut terdapat corak perpaduan antara budaya Jawa, kepercayaan umat Hindu, serta pengaruh Islam.

Doa pembuka ini dimaksudkan untuk meminta permohonan pada penguasa makhluk halus yang ada agar tidak mengganggu jalannya pelaksanaan prosesi upacara yang tengah dilakukan oleh umat Nabi Muhammad Saw.

Prosesi ritual dilanjutkan dengan doa-doa pribadi yang dipanjatkan oleh para putra sentana dengan menaiki pundhen di bawah pohon beringin secara bergiliran.

Setelah melalui sesi berdoa secara bergiliran, juru doa akan menutup prosesi dengan membaca doa dan dilanjutkan dengan prosesi penguburan kepala kerbau di hutan Krendhowahono.

Sementara itu, sesaji-sesaji akan diturunkan dari atas pundhen ke pendhapa yang letaknya bersebelahan dengan pundhen tersebut dan akan dibagikan pada para abdi dalem serta kawula dalem yang telah mengikuti prosesi Mahesa Lawung.

Tradisi Mahesa Lawung mengajarkan manusia untuk percaya bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dengan beragam makhluk di dalamnya.

Sebagai makhluk yang berakal, manusia harus bisa menghormati serta menjaga keharmonisan antara alam manusia dengan alam gaib.

Pada kasus ini, keharmonisan dapat diraih dengan cara melaksanakan upacara ritual agar keberadaan makhluk halus tidak mengganggu kehidupan manusia juga sebagai tolak bala agar terhindar dari malapetaka.

Selain itu, keberadaan hutan Krendhowahono sebagai tempat pelaksanaan ritual juga diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk tetap menjaga serta melestarikan alam agar manusia bisa terus mendapat manfaat kebaikannya dalam jangka waktu yang panjang.

buttons=(Accept !) days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top