Ilustrasi kebebasan pers. (Foto: GusDur.Net)
Penulis: Mg Siti Nurhaliza Safitri
EDUKASIA.ID - Pers di Indonesia lahir tak jauh dari campur tangan Belanda saat menduduki wilayah Nusantara pada abad ke-18.
Pada masa itu, Belanda mulai memperkenalkan sistem penerbitan surat kabar di Indonesia walaupun penerbitannya terdiri dari orang Belanda sendiri. Pers yang digunakan Belanda merupakan salah satu alat untuk mempertahankan kekuasaan.
Melihat hal tersebut, masyarakat Indonesia tidak tinggal diam dan menggunakan kesempatan ini untuk membangun pers nasional sebagai alat meraih kemerdekaan.
Merujuk dari buku “Perkembangan Pers di Indonesia” karya Akhmad Efendi, surat kabar pertama di Indonesia adalah Bataviase Nouvelles yang terbit pada Agustus 1744. Sayangnya, surat kabar ini terpaksa tutup saat peperangan antara Belanda dengan Perancis dan Inggris meledak pada 1744.
Perjalanan pers dilanjutkan ketika Bataviasche Courant terbit pada 1817 dan Bataviasche Advertentieblad pada 1827.
Tak hanya itu, tahun 1855 di Surakarta terbit surat kabar dalam bahasa dan aksara Jawa untuk yang pertama kalinya dengan nama Bromartani.
Lahirnya kaum terpelajar kian membakar semangat masyarakat untuk menjadikan surat kabar sebagai media pembangun semangat kemerdekaan.
Namun, karena Belanda memegang kuasa penuh terhadap arus pers di Indonesia, banyak media yang dibungkam karena pemberitaannya tidak sejalan dengan kepentingan Belanda sebagai bangsa penjajah.
Pada tahun 1721 misalnya, Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC melarang surat kabar yang berisi berita-berita dagang karena VOC takut mengalami kekalahan dalam persaingan dagang akibat berita-berita tersebut.
Selanjutnya, tahun 1856 diberlakukan Drukpers Reglement sebagai bentuk kontrol Belanda terhadap pers yang mengharuskan setiap karya cetak untuk dikirimkan kepada kepala pemerintahan setempat, pejabat justisi, dan kantor administratif Hindia Belanda sebelum bisa diedarkan.
Ketika lepas dari Belanda, pers di Indonesia diambil alih oleh Jepang. Terdapat lima surat kabar yang berada di bawah pengawasan militer Jepang, yakni Jawa Shinbun, Sumatera Shinbun, Borneo Shinbun, Celebes Shinbun, serta Ceram Shinbun untuk mengobarkan semangat Perang Asia Timur Raya.
Walau tetap dihalangi dengan kebijakan pers yang mengikat kebebasan, saat itu insan pers Indonesia dapat sedikit bernapas lega karena pribumi diperbolehkan untuk menulis berita di koran-koran yang diterbitkan oleh pemerintah Jepang.
Hal tersebut menimbulkan maraknya surat kabar yang beredar, bahkan agenda kemerdekaan pun dapat terbantu sebab adanya tulisan-tulisan yang mengobar semangat rakyat.
Pasca kemerdekaan, tepatnya pada pemerintahan Orde Baru, kerja pers diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Pers.
Di sana disebutkan bahwa pers nasional tidak dapat disensor atau dikendalikan serta tidak memerlukan persuratan untuk menerbitkan sebuah berita.
Nyatanya, pada masa tersebut pers kembali mengalami kemunduran. Dalam pelaksanaan kebebasan pers, presiden yang tengah menjabat berupaya untuk meminimalisir kritik terhadap kebijakan pemerintah.
Melansir dari Kompas, pada masa ini terdapat sekitar 70 surat kabar yang dibredel oleh pemerintah serta maraknya kasus wartawan ditangkap dan diasingkan.
Memasuki masa Reformasi, pers mulai memasuki era yang lebih baik dengan terbitnya Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Dalam UU tersebut, kemerdekaan pers sangat diagungkan, tidak ada lagi penyensoran karena pemerintah sudah memberi kebebasan bagi media massa dalam menyiarkan berita pada masyarakat.
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.