Opini: Rancangan Undang-Undang Penyiaran, Antara Regulasi dan Kebebasan Pers

 

Ilustrasi pembungkaman pers. (Foto: Nyaaya.org).

Opini oleh: Siti Nurhaliza Safitri, Mahasiswa Jurnalistik UIN Jakarta

EDUKASIA.ID - Pada awal tahun ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah membuat draf Rancangan Revisi Undang-Undang Penyiaran. Revisi UU tersebut dimaksudkan untuk memperbarui undang-undang mengenai sektor penyiaran di Indonesia. Kendati demikian, terdapat beberapa pasal yang justru mengancam pola kerja jurnalistik dalam menyajikan informasi pada masyarakat.

Pada pasal 50 B ayat (2) misalnya, di sana terdapat larangan untuk menayangkan produk jurnalistik investigasi eksklusif. Padahal, jika dimanfaatkan dengan baik, jurnalistik investigasi dapat membantu pemerintah untuk melakukan check and balances bagi keberlangsungan kehidupan bernegara.

Misalnya, ketika anak dari seorang pejabat di Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Selatan terlibat dalam kasus hukum, perhatian media dengan cepat tertuju pada sumber pendapatan orang tuanya. Dalam proses investigasi, ditemukan ketidaksesuaian dalam pelaporan kekayaan yang dilakukan oleh orang tuanya sekaligus menunjukkan adanya penyimpangan dengan aturan perpajakan.

Jika jurnalisme investigasi dilarang, pemerintah terkesan menolak untuk melakukan pembenahan terhadap penyelenggara negara dan pejabat yang tidak bertanggung jawab kemungkinan akan semakin rajin untuk korupsi.

Pasal 50 B ayat (2) juga melarang penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender.

Walau perilaku tersebut tidak sesuai dengan norma yang berlaku di Indonesia, hal ini dapat menghambat kerja jurnalistik inklusif di mana kelompok marginal, kaum rentan, dan keberagaman merupakan fokus utama yang diangkat.

Apabila pasal ini disahkan, kelompok minoritas akan semakin kehilangan tempat aman untuk mengutarakan keterbatasannya dalam bergerak di ruang sosial.

Selain itu, dalam Pasal 34 F ayat (2) huruf E dijelaskan bahwa penyelenggara platform digital penyiaran seperti YouTube, TikTok dan media berbasis user generated content lainnya diwajibkan untuk memverifikasi konten mereka pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Pasal ini seolah mencerminkan bahwa pemerintah ingin membungkam masyarakat dalam menyuarakan kebebasan berpendapat di negara demokratis.

Padahal, kerja jurnalistik dan pemenuhan hak publik atas informasi sudah sangat dilindungi dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai bentuk perlawanan atas dibungkamnya pers saat orde baru berlangsung. Negara yang semula sudah siap lepas landas seakan kembali lagi ke angka nol jika ruang gerak pers dibatasi kembali.

Jika ditelaah lebih dalam, fungsi regulasi dan kebebasan pers bagaikan pisau bermata dua. Dunia penyiaran merupakan salah satu sarana bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi, sehingga media tidak boleh sembarangan dalam menayangkan ragam konten.

Maka dari itu, pemerintah melalui regulasinya berperan sebagai pelindung kepentingan publik agar informasi yang ditayangkan dapat dipertanggungjawabkan, tidak memicu kebencian, diskriminasi, dan sesuai dengan moralitas bangsa.

Di sisi lain, kebebasan pers merupakan ciri utama dari negara yang berdemokrasi. Jika pergerakan pers terlalu dibatasi, fungsi pers sebagai kontrol sosial akan terhambat.

Media merupakan salah satu cara untuk mengawal transparansi serta akuntabilitas dalam pemerintahan tetap terkendali dan juga sebagai wadah untuk menyuarakan aspirasi rakyat.

Pengekangan pers secara berlebihan artinya sama saja dengan merampas hak warga negara demokrasi, yaitu bebas bersuara dalam mengkritik pemerintah. Lebih parah, pembungkaman pers dapat mengantar negara demokrasi kepada sistem otoriter.

Maraknya pasal-pasal yang mengundang kontroversi dari insan pers maupun masyarakat umum mengantarkan pada kesimpulan bahwa Rancangan Revisi Undang Undang Penyiaran tidak dapat disahkan dan perlu digarap ulang. Proses revisi harus dilakukan secara bertahap dan tidak terburu-buru dengan memperhatikan prinsip-prinsip kebebasan berekspresi.

Selain itu, sebaiknya DPR dapat mengundang pihak-pihak yang terlibat langsung dalam kerja jurnalistik, seperti Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) untuk turut serta membuat rancangan revisi undang-undang agar tercipta produk jurnalistik yang terbebas dari kepentingan kelompok tertentu.

buttons=(Accept !) days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top