Konsep Penyucian Jiwa Manusia dalam Al-Qur'an

0

 

Ilustrasi seseorang yang tengah bertobat. (Foto: mykmu.net)

Penulis: Mg Siti Nurhaliza Safitri

EDUKASIA.ID - Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna serta memiliki beragam kepribadian. Umat muslim percaya bahwa ruh atau jiwa manusia sudah ditiupkan ketika janin berusia empat bulan. 

Dalam masa hidupnya, manusia dapat berkembang menjadi pribadi yang taat pada Allah maupun sebaliknya. Untuk mengembalikan manusia kepada fitrah asalnya, yaitu manusia yang beriman, diperlukan penyucian jiwa atau tazkiyat al-nafs.

Merujuk dari buku "Kuliah Akhlak Tasawuf" karya Prof. Asep Usman Ismail, tazkiyat al-nafs terdiri dari dua kata. Tazkiyat berasal dari kata zaka atau zakat yang berarti tumbuh kembang. Sementara nafs memiliki arti jiwa.

Dalam ilmu tasawuf, tazkiyat al-nafs diartikan sebagai upaya membersihkan jiwa dari berbagai penyakit hati dan sifat-sifat tercela.

Al-Qur’an telah membagi jiwa manusia menjadi tiga jenis sesuai dengan tingkat kualitas ketaatannya pada Allah. Pembagian jiwa manusia dari yang tertinggi hingga terendah terdiri atas:

Jiwa al-Mutma’innah

Istilah mutma’innah berasal dari kata al-itminan yang berarti al-sukun, yaitu diam atau tenang setelah gelisah. 

Jiwa mutma’innah adalah jiwa yang berhasil menghadapi dorongan dari dalam dirinya untuk berbuat kejahatan sehingga terbentuk kemantapan dalam merasakan manisnya iman, indahnya ilmu dan amal, serta menemukan makna hidup dalam rida Allah.

Adapun ciri-ciri jiwa al-Mutma’innah sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Qur’an adalah sebagai berikut.

Memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap kebenaran karena mereka telah menyaksikan bukti dari kebenaran itu. 

Memiliki rasa aman, terbebas dari rasa takut dan sedih di dunia dan akhirat.

Hatinya tentram karena selalu mengingat Allah pada segala situasi dan kondisi.

Dapat disimpulkan bahwa orang yang jiwanya telah mencapai tingkatan mutma’innah, hatinya akan selalu tentram karena selalu mengingat Allah dan yakin dengan apa yang diyakininya sebagai kebenaran. 

Oleh karena itu, mereka tidak akan mengalami konflik batin, tidak merasa cemas dan tidak pula merasa takut.

Jiwa al-Lawwamah

Secara bahasa, kata lawwamah berasal dari kata lama-yalumu-laumatan yang berarti menyesali, menyalahkan, dan mengecam. 

Sementara yang dimaksud oleh jiwa al-Lawwamah adalah jiwa yang menyadari bahwa perbuatannya salah, kemudian menyesali dan mengecam dirinya, tetapi kesadaran tersebut bersifat kondisional. 

Orang berjiwa lawwamah mengakui bahwa dirinya bersalah, tetapi hal itu tidak mengubah kebiasaan berbuat maksiat yang sudah melekat pada dirinya.

Jiwa al-Ammarah

Al-Nafs al-Ammarah bi al-Su’i merupakan kondisi jiwa manusia yang paling rendah.Secara etimologi, ammarah berasal dari kata kerja amara yang berarti memerintahkan atau mendorong, sementara al-su’i berarti keburukan atau kejahatan. 

Dapat disimpulkan bahwa jiwa al-Ammarah adalah jiwa yang selalu mendorong untuk melakukan keburukan atau kejahatan.

Jiwa al-Ammarah melahirkan sifat hedonisme, di mana mereka akan selalu berorientasi pada materi. Segala perbuatan jiwa ammarah hanya didasarkan pada keinginan hawa nafsu semata. 

Jiwa al-Ammarah akan menimbulkan pola hidup yang cenderung berbuat dosa, bersifat badani belaka, zalim, menonjolkan egoisme, serta hanya memedulikan masa kini tanpa memikirkan apa yang telah dilakukan pada masa lalu dan tidak pula merencanakan masa depan.

Dalam melakukan proses tazkiyat al-nafs atau menyucikan jiwa, Al-Qur’an membimbing orang-orang beriman agar mendahulukan tindakan pencegahan daripada tindakan penyembuhan.

Artinya, tindakan penyembuhan dikhususkan untuk orang-orang yang telah berbuat dosa agar bertobat, sedangkan tindakan pencegahan ditujukan kepada orang-orang yang bersih agar tidak tergoda untuk berbuat dosa.

Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan cara merawat keimanan dan kualitas beribadah agar tetap kuat serta dapat berfungsi menjauhkan diri dari berbuat dosa. 

Sementara penyucian jiwa dari dosa besar dapat dilakukan dengan tobat nasuhah dan tidak akan mengulangi dosa di kemudian hari. 

Keberhasilan seseorang dalam menyucikan jiwanya tergantung pada kesungguhan, kejujuran, dan ketulusan. 

Namun di atas segalanya, keberhasilan seseorang dalam menyucikan jiwa tidak terlepas dari karunia dan kasih sayang Allah kepada umat-Nya.


Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.

Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.

Posting Komentar (0)
Pixy Newspaper 11

buttons=(Accept !) days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top