Cara Belajar ala Kyai Ihsan Jampes Kediri

0

Ilustrasi santri mengaji. Foto Pixabay.

Penulis: Mualim, Guru MTs NU Miftahul Falah Kudus

EDUKASIA.ID - Raja Faruk (1920-1965), sultan terakhir Mesir, membeber peta untuk menelusuri letak “Jampes” di belahan bola dunia. Ternyata, Jampes adalah noktah kecil di wilayah Al Jawi Asy Syarqiiyah (Jawa Timur), tepatnya di Kediri.   

Setelah itu, Raja Faruk mengirim utusan untuk menemui Kyai Ihsan Jampes. Sampailah dan singgahlah utusan Raja Faruk di Jampes. Utusan tersebut segera menemui dan menyampaikan pesan Raja Faruk kepada Kyai Ihsan. 

Intinya, dengan segala hormat Raja Faruk meminta Kyai Ihsan Jampes untuk menjadi “guru besar” atau setidknya dosen tamu di universitas Al Azhar Mesir. 

Tanpa mengurangi rasa hormat akan niat baik Raja Faruk, Kyai Ihsan menolak permintaan Raja Faruk. Dengan halus Kyai Ihsan menyatakan “tidak bersedia” mengajar di universitas Al Azhar.

Alasannya, karena Kyai Ihsan memiliki tugas-tugas keummatan sendiri di kampung, terutama membimbing dan mengasuh para santri. 

Demikian Murtadho Hadi membeberkan kisah Kyai Ihsan ini dalam karyanya, Jejak Spiritual Kiai Jampes, Pustaka Pesantren 2008.  

Kyai Ihsan Jampes Kediri (1901-1952) merupakan salah satu ulama Jawa yang mendunia. Kyai Ihsan juga termasuk ulama yang produktif menulis kitab. Di antara karyanya Sirajut Thalibin (kitab tasawuf) dan kitab Irsyadul Ikhwan fi Bayani Hukmi Qahwati wad Dhukhan (Risalah tentang kopi dan Rokok). 

Selain itu, Kyai Ihsan jampes juga menulis Tashrihul Ibarat (kitab ilmu Falak syarah dari kitab Natijatul Miqat karya Kyai Dahlan Semarang) dan kitab Manahijul Imdad (Syarah Kitab Irsyadul Ibadnya Syaikh Zainuddin Malaibari, setebal seribu halaman).   

Ada keistimewaan tersendiri untuk kitab Sirajut Thalibin karya Kyai Ihsan Jampes ini. Pertama, kitab tersebut ditulis selama kurang lebih delapan bulan. Kedua, ketika menulis kitab tersebut usia Kyai Ihsan masih relative muda, yakni 31 tahun. Ketiga, kitab tersebut kepopulerannya mendunia. Dimana cerdik-cendekia Timur Tengah dan Eropa mengakui akan ke-bernas-as kitab tersebut. 

Kyai Ihsan Jampes mampu menjelaskan ajaran-ajaran tasawuf Imam Al Ghazali dengan bernas dan memukau. Maka, wajar Raja Faruk terpukau dengan Kyai Ihsan dan bersusah payah memintanya mengajar di Al Azhar Mesir. 

Cara Belajar Kyai Ihsan 

Perjalanan keilmuan Kyai Ihsan dimulai dari belajar ilmu-ilmu dasar agama kepada ayahnya sendiri, Kyai Dahlan. Selain itu, Kyai Ihsan juga nyantri kepada pamannya, Kyai Khozin Bendo Pare Kediri. Masa-masa muda Kyai Ihsan juga digunakan untuk nyantri ke beberapa pesantren, seperti Pesantren Gondang Legi Nganjuk, Pesantren Kyai Khalil Bangkalan Madura, Pesanten Jamseran Solo, dan Pesantren Peninggalan Kyai Shaleh Darat yang diasuh oleh Kyai Dahlan. 

Menurut analisis Murtadho Hadi, Kyai Ihsan dalam proses mencari pengatahuan (belajar) menempuh dua cara. Pertama, kasby. Yaitu proses mencerap ilmu melalui upaya belajar yang sungguh-sungguh. 

Cara ini bisa ditempuh melalui belajar di hadapan seorang guru ataupun Kyai. Bisa juga ditempuh secara otodidak, belajar mandiri (membaca, menghafal, atau muthalaah buku-kitab). Dengan kesungguhan dalam belajar, ilmu akan turun kepada pencari ilmu (thalib).    

Kesungguhan belajar Kyai Ihsan Jampes bisa dilihat dalam karya-karya beliau. Dalam kitab Irsyadul Ikhwan, misalnya, Kyai Ihsan tidak hanya menjelaskan tentang hukum “kopi” dan “rokok” saja. 

Akan tetapi, Kyai Ihsan juga menjelaskan tentang perjalanan asal usul tembakau sampai di kampung-kampung kecil di wilayah Amerika, Meksiko, dan Afrika.

Dalam menyusun kitab Sirajut Thalibin, Kyai Ihsan juga membaca dan mencercap dawuh-dawuh para tokoh sufi, seperti Syaikh Zubaidi, Kisa’I, ‘iraqi, Syaikh Qusairi, dan Abu Nu’aim. Kyai Ihsan menyuguhkan dalam kitab ini ilmu-ilmu pengetahuan yang menyeluruh baik tafsir, hadits, semantic, sejarah maupun riwayat-riwayat para sahabat dan ulama. Kenyataan ini menunjukkan betapa kokoh dan kuatnya tradisi literasi Kyai Ihsan.     

Kedua, sima’I (pencerapan). Yakni proses mencerap ilmu dengan cara mengamati sumber ilmu. Jelasnya, belajar model ini bisa ditempuh dengan cara melakukan pengamatan terhadap sosok seorang guru, dan membaca figur seorang guru, serta karakternya. Ada ungkapan “melihat wajah seorang yang alim bi ‘ilmil akhirat, pahalanya melebihi bersedekah seribu kuda”. 

Dengan melihat, memandang, dan menyerap karakter serta ketinggian akhlak seseorang akan menjadi ingat kepada Allah.     

Menilik ke belakang, model sima’I inilah yang dilakukan oleh para sahabat dalam merengkuh dan mencercap ilmu dari Nabi Saw. Mereka mengamati akhlak dan perilaku keseharian Nabi Saw. Mereka memandang wajah Nabi Saw, mendengarkan ucapan-ucapannya, melayani Nabi Saw, dan membersamai Nabi Saw. Hasilnya, para sahabat layaknya bintang-bintang yang menyinari ummat setelah Nabi Saw wafat. 

Selain model belajar dengan kasby dan sama’I, Kyai Ihsan juga mengasah nalar dan intuisi dalam proses belajarnya. Pada masa-masa menjadi santri di pondok pesantren Kyai Ihsan memilih untuk khumul, tidak menunjukkan identitas dirinya, tidak mengaku sebagai anak kyai. 

Kyai Ihsan juga menyembunyikan kemampuannya dalam beberapa bidang keilmuan, yang sebenarnya beliau kuasai. Kyai Ihsan memilih berpenampilan seperti orang lugu. 

Lebih dari itu, di pondok pesantren Kyai Ihsan lebih memilih melayani teman-temannya menjadi juru masak, menyeduh air, membuatkan kopi, dan lainnya. Dengan tirakat seperti ini, Kyai Ihsan berusaha mengendalikan egonya, nafsunya, dan tidak mencari penghormatan dari orang lain.

Disamping kuat melek (terjaga di waktu malam, Kyai Ihsan juga betah lapar. Bagi Kyai Ihsan semua laku lampah tersebut merupakan tirakat dalam rangka penyucian hati. 

Perpaduan model belajar tersebut mendatangkan semacam “keramat” bagi Kyai Ihsan. Di mana waktu satu hari yang digunakan Kyai Ihsan dalam “kesungguhannya” dan “ penyerapannya” terhadap suatu ilmu, boleh jadi setara satu tahun atau lebih untuk santri -santri pada umumnya dalam menyerap dan memahami ilmu.

Konon, persinggahan Kyai Ihsan ke pondok-pondok pesantren tidak ada yang lebih dari dua bulan. Wallahu a’lam. 

***

Berkontribusi di EDUKASIA.ID?

EDUKASIA.ID mengundang Anda untuk terlibat dalam jurnalisme warga dengan mengirimkan berita, artikel, atau video terkait pendidikan, isu sosial, dan perkembangan terbaru. Berikan perspektif dan suara Anda untuk membangun wawasan publik.

Kirim karya Anda melalui WhatsApp: 085640418181, Email: redaksi@edukasia.id

Youtube : EDUKASIA ID
Facebook: EDUKASIAID
Instagram: EDUKASIAID
Twitter: EDUKASIAID
Tiktok: EDUKASIAID
LinkedIn: EDUKASIAID

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.

Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.

Posting Komentar (0)
Pixy Newspaper 11

buttons=(Accept !) days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top