Indonesia Gelap 2025: Suara Mahasiswa, Cermin Krisis Pendidikan Kita

Arie Irfan
0
Foto: pixabay

Opini oleh: M. Fachrur Rozy., M.Pd/Tutor Online Universitas Terbuka dan Alumni S2 Prodi Manajemen Pendidikan Islam (MPI) UIN Walisongo Semarang.

EDUKASIA.ID
- Februari 2025, ribuan mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia turun ke jalan dalam aksi nasional bertajuk “Indonesia Gelap 2025.” Aksi ini bukan sekadar demonstrasi biasa. Aksi tersebut merupakan manifestasi dari keresahan kolektif generasi muda terhadap situasi pendidikan, sosial, dan politik yang dirasa semakin menjauh dari keadilan dan harapan. 

Mahasiswa kembali menunjukkan bahwa mereka bukan hanya pelajar pasif, tapi juga agen perubahan yang sadar akan tanggung jawab sosial. Ketika mereka menyatakan “gelap”, itu bukan hanya metafora tentang ketiadaan cahaya, melainkan sinyal keras tentang masa depan yang dirasa tidak lagi memiliki arah.

Aksi “Indonesia Gelap 2025” bukan muncul dalam ruang hampa. Aksi tersebut lahir dari akumulasi keresahan, anggaran pendidikan yang stagnan, kurikulum yang sering berubah namun tidak pernah menyentuh akar masalah, rendahnya kesejahteraan guru dan dosen, serta akses pendidikan yang masih timpang terutama di daerah terpencil. 

Yang paling menyita perhatian adalah kritik terhadap program makan gratis yang digulirkan pemerintah sebagai janji besar politik. Mahasiswa mempertanyakan prioritas anggaran, dan mengapa program ini didorong besar-besaran sementara pendidikan gratis yang lebih fundamental justru terabaikan. 

Menurut mereka, negara seharusnya lebih dulu memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan hak dasar atas pendidikan yang layak dan merata, sebelum menggulirkan program-program populis. Tidak hanya itu, mahasiswa juga menyoroti tumpulnya demokrasi kampus, pembatasan kebebasan akademik, serta menurunnya kualitas perguruan tinggi akibat komersialisasi pendidikan.

Tuntutan mahasiswa dalam aksi tersebut bukan tanpa dasar. Salah satu poin utama mereka adalah realisasi pendidikan gratis dan berkualitas. Sebuah janji konstitusional yang hingga kini belum sepenuhnya diwujudkan. 

Media Kumparan menyebutkan bahwa data Badan Pusat Statistik (BPS) untuk tahun ajaran 2023/2024, tingkat putus sekolah mencapai 0,19% untuk tingkat SD, 0,18% di tingkat SMP, 0,19% di tingkat SMA, dan 0,28% untuk tingkat SMK. Angka pengulangan pada siswa juga menunjukkan tantangan, dengan tingkat tertinggi pada SD sebesar 0,46%. Begitu pula dengan kesejahteraan dosen dan guru, yang sering kali terpinggirkan. 

Banyak juga guru honorer masih digaji di bawah upah minimum, padahal mereka menjadi tulang punggung pendidikan dasar hingga menengah. Komitmen pemerintah terhadap peningkatan kualitas pendidikan seharusnya dimulai dari menghargai para pendidik, bukan hanya membenahi infrastruktur atau mempercantik statistik.

Kritik terhadap program makan gratis juga valid dalam konteks ini. Meski program tersebut punya nilai sosial, pertanyaannya adalah: apakah ia lebih urgen dibanding memperkuat fondasi pendidikan yang sudah lama rapuh? 

Mengapa anggaran sebesar itu tidak diarahkan untuk penguatan guru, beasiswa mahasiswa kurang mampu, atau peningkatan literasi digital?

Dalam aksi tersebut, mahasiswa membacakan 13 tuntutan yang mencakup berbagai isu, mulai dari pendidikan hingga reformasi agraria. Beberapa poin penting meliputi:

1. Pendidikan Gratis dan Demokratis
2. Cabut PNS Bermasalah & Reforma Agraria Sejati 3. Tolak Revisi UU Minerba
4. Hapus Multifungsi ABRI
5. Sahkan RUU Masyarakat Adat
6. Cabut Inpres No. 1 Tahun 2025
7. Evaluasi Program Makan Gratis
8. Realisasikan Tunjangan Kinerja Dosen
9. Perppu untuk Perampasan Aset Koruptor
10. Tolak Revisi UU TNI, Polri, dan Kejaksaan
11. Efisiensi dan Rombak Kabinet
12. Tolak Revisi Tatib DPR
13. Reformasi Kepolisian

Daftar lengkap tuntutan tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa tidak hanya fokus pada isu pendidikan semata, tetapi juga pada berbagai aspek kebijakan yang mereka anggap bermasalah dan berdampak pada kehidupan masyarakat luas.

Aksi tersebut membawa resonansi yang cukup besar di ruang publik. Di media sosial, tagar #IndonesiaGelap2025 sempat trending, memicu diskusi tentang arah pendidikan Indonesia yang sebenarnya. Banyak akademisi, aktivis pendidikan, bahkan orang tua murid mulai angkat suara, menanggapi isi tuntutan mahasiswa. 

Secara jangka pendek, aksi ini menjadi pengungkit kesadaran kolektif tentang pentingnya peran mahasiswa sebagai kontrol sosial. Diskursus yang awalnya hanya terjadi di lingkup kampus kini menyebar ke masyarakat umum, yang mulai mempertanyakan prioritas kebijakan pemerintah. 

Dalam jangka panjang, jika gerakan ini mampu menjaga konsistensi dan memperluas jejaringnya secara damai dan substantif, bukan tak mungkin akan mendorong lahirnya kebijakan baru yang lebih berpihak pada rakyat. Namun, tantangannya adalah menjaga arah gerakan ini agar tidak disusupi agenda politik praktis yang bisa mereduksi substansi perjuangannya.

Sebagai bagian dari masyarakat yang percaya bahwa pendidikan adalah hak, bukan privilege, saya melihat bahwa gerakan “Indonesia Gelap” adalah cermin besar bagi kita semua: bahwa selama ini kita terlalu terbiasa menormalisasi ketimpangan pendidikan. 

Kita membiarkan anak-anak belajar di ruang kelas roboh, kita menutup mata pada guru-guru yang hidup dari gaji tak layak, dan kita membiarkan mahasiswa bergelut dengan biaya kuliah yang terus naik tanpa transparansi. 

Aksi mahasiswa tersebut merupakan alarm moral yang penting. Kita perlu berhenti melihat protes sebagai gangguan ketertiban semata. Sebaliknya, mari kita dengarkan substansi yang mereka bawa karena dalam suara mereka tersimpan aspirasi jutaan yang tak bersuara.

Aksi “Indonesia Gelap 2025” tidak muncul untuk mencari panggung, melainkan untuk menunjukkan bahwa panggung kebijakan hari ini terlalu sempit untuk menampung harapan rakyat. 

Mahasiswa telah mengambil peran sebagai pengingat bahwa cahaya pendidikan harus dinyalakan oleh negara, bukan sekadar disinari oleh janji politik. 

Jika suara mereka terus diabaikan, maka krisis pendidikan bukan sekadar kemungkinan, melainkan kenyataan yang sedang berlangsung. 

Saatnya kita buka mata, dan bertanya: Apakah kita benar-benar sedang menuju masa depan yang terang atau justru semakin nyaman hidup dalam gelap?

Posting Komentar

0 Komentar

Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Ok, Go it!
To Top