
Ilustrasi. Foto Unsplash.
EDUKASIA.ID - Di tengah gejolak ekonomi, ketidakpastian lapangan kerja, dan derasnya perubahan zaman, pertanyaan tentang relevansi pendidikan menjadi semakin penting. Kita menyaksikan fenomena yang ironis: lulusan universitas bergelar sarjana justru kesulitan mendapat pekerjaan, sementara keterampilan praktis dan vokasional semakin dibutuhkan dalam dunia nyata.
Di berbagai daerah, tak sedikit lulusan pendidikan tinggi yang akhirnya banting setir menjadi pengemudi ojek daring, pedagang kaki lima, atau pekerja serabutan. Bukan karena mereka gagal belajar, tetapi karena sistem pendidikan belum mampu menyelaraskan pengetahuan dengan kebutuhan hidup.
Kita perlu mengakui bahwa selama ini, pendidikan cenderung diidealkan dalam bentuk formal dan teoritis. Kesuksesan seolah-olah hanya milik mereka yang memiliki gelar akademik. Sebaliknya, pendidikan berbasis keterampilan sering kali dipandang sebelah mata, padahal ia justru lebih dekat dengan kenyataan.
Dalam dunia kerja yang menuntut adaptabilitas dan keahlian nyata, keterampilan praktis seringkali menjadi penentu keberhasilan bukan gelar atau indeks prestasi semata. Kondisi ini memunculkan urgensi untuk menggeser cara pandang kita tentang pendidikan: dari sekadar simbol sosial menjadi sarana yang betul-betul menghidupi.
Pendidikan yang menghidupi bukan hanya tentang memperoleh pekerjaan, tetapi juga tentang keberdayaan. Ia adalah pendidikan yang membuat seseorang mampu bertahan, mandiri, dan berkontribusi secara nyata dalam masyarakat. Di sinilah letak pentingnya pendidikan vokasional, pendidikan berbasis keterampilan, serta pelatihan-pelatihan yang kontekstual dan membumi.
Sayangnya, di Indonesia, pendidikan vokasional masih belum sepenuhnya dihargai. Banyak orang tua mendorong anak-anak mereka untuk masuk universitas, meskipun pilihan itu belum tentu sesuai dengan minat, bakat, maupun realitas ekonomi keluarga. Tak jarang, biaya pendidikan tinggi yang mahal justru menjadi beban psikologis dan finansial.
Padahal, jalur kejuruan atau pelatihan keterampilan bisa menjadi jalan yang lebih realistis dan tak kalah bermartabat. Dalam banyak kasus, lulusan program vokasi bahkan lebih cepat mendapatkan pekerjaan atau membuka usaha sendiri. Negara-negara seperti Jerman, Swiss, atau Korea Selatan sudah lama mengembangkan sistem pendidikan vokasional yang terintegrasi dengan dunia industri.
Mereka menunjukkan bahwa keterampilan teknis bukan pilihan kedua, melainkan bagian dari fondasi peradaban modern. Di sana, menjadi teknisi, mekanik, atau perajin bukanlah aib, tetapi profesi yang dihormati. Indonesia sesungguhnya bisa menempuh jalan serupa bukan dengan meniru mentah-mentah, melainkan dengan merancang sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan lokal dan potensi daerah.
Upaya pemerintah untuk merevitalisasi pendidikan vokasional, memperkuat kemitraan dengan industri, serta mendorong pembentukan Balai Latihan Kerja (BLK) layak diapresiasi. Namun, tantangan di lapangan masih besar. Banyak SMK dan lembaga pelatihan belum memiliki sarana dan prasarana memadai, tenaga pengajar yang kompeten, serta jejaring kerja sama yang kuat.
Tanpa dukungan yang serius dan berkelanjutan, pendidikan vokasional mudah terjebak dalam romantisme wacana tanpa hasil nyata. Kita juga perlu mengubah cara kita bertanya kepada generasi muda. Selama ini, pertanyaan yang paling sering diajukan kepada anak-anak adalah, “Kamu mau jadi apa nanti?”
Pertanyaan ini menekankan pada status, jabatan, atau gelar. Bagaimana jika kita ubah menjadi, “Kamu mau bisa apa nanti?” Pertanyaan ini mendorong pemikiran tentang kemampuan, keterampilan, dan keberdayaan. Ini bukan hanya perubahan semantik, tetapi perubahan filosofi dalam memandang pendidikan sebagai sarana pemampu bukan semata-mata simbol status sosial.
Pendidikan yang menghidupi bukan berarti menafikan ilmu pengetahuan, teori, atau kajian akademik. Sebaliknya, ia menghormati semua bentuk pengetahuan selama memiliki keterkaitan dengan kehidupan. Seorang petani yang memahami siklus tanam dan adaptasi iklim adalah cendekia dalam maknanya sendiri.
Seorang teknisi listrik yang mampu memperbaiki sistem kelistrikan rumah tangga memiliki kontribusi nyata yang tak bisa disepelekan. Pendidikan yang membumi mengajarkan bahwa semua bentuk ilmu memiliki nilai, sejauh ia berdampak dan memberdayakan. Pendidikan juga seharusnya tidak berdiri sendiri sebagai institusi formal.
Ia perlu menjadi bagian dari ekosistem sosial yang mendukung kemandirian warganya. Dunia usaha, komunitas, lembaga keagamaan, bahkan keluarga memiliki peran dalam menciptakan budaya belajar yang hidup dan berkesinambungan. Belajar tak harus selalu terjadi di ruang kelas. Ia bisa tumbuh di bengkel kecil, di ladang, di dapur, di ruang komunitas, atau di platform digital yang terus berkembang.
Krisis yang kita hadapi hari ini baik dalam bentuk ekonomi, sosial, maupun ekologi menuntut pendekatan pendidikan yang lebih lentur, inklusif, dan kontekstual. Pendidikan yang berakar pada realitas, namun tetap membuka cakrawala. Kita butuh model belajar yang mampu menyatukan keterampilan teknis dengan kepekaan sosial, pengetahuan dengan kebijaksanaan, dan cita-cita dengan keberlanjutan.
Karena pada akhirnya, pendidikan bukan sekadar mempersiapkan seseorang menghadapi dunia kerja, tetapi juga menjadikannya manusia yang utuh, mandiri, dan mampu hidup bersama orang lain. Pendidikan yang menghidupi juga menuntut keberanian untuk menata ulang struktur dan mentalitas lama.
Kita tidak bisa terus-menerus menilai kualitas seseorang berdasarkan gelar, universitas, atau status formal lainnya. Kita perlu menilai berdasarkan kontribusi nyata, kemampuan untuk bertahan, dan kesanggupan untuk terus belajar di tengah perubahan. Pendidikan bukan tentang siapa yang tercepat lulus, tapi siapa yang paling siap menghadapi hidup.
Di tengah ketidakpastian global dan krisis multidimensi, sudah saatnya kita meninjau kembali arah pendidikan kita. Apakah ia masih relevan dengan kebutuhan zaman? Apakah ia menguatkan atau justru memperlemah masyarakat? Apakah ia memberi harapan atau justru memperlebar jurang kesenjangan?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan keberanian kolektif dari pemerintah, pendidik, orang tua, dunia usaha, hingga masyarakat sipil. Kita tidak butuh lebih banyak lulusan yang hanya cakap menjawab soal ujian, tetapi tak mampu menjawab tantangan hidup. Kita butuh warga negara yang terampil, berintegritas, dan berdaya. Pendidikan harus menjadi jembatan menuju kehidupan yang lebih baik, bukan lorong gelap yang menyesatkan harapan.
Dengan menempatkan pendidikan sebagai sarana yang menghidupi, kita sedang menanamkan benih masa depan yang lebih adil, manusiawi, dan bermartabat. Karena hanya pendidikan yang berpihak pada kehidupanlah yang akan terus relevan, bahkan ketika dunia berubah secepat hari ini.
Komentar menggunakan bahasa sopan dan tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit komentar apabila kurang layak tayang.